Penulis: Katharine E. McGregor
Penerbit: Syarikat
Tahun terbit: 2008
No. ISBN: 978-979-1287-01-2
Katharine E. McGregor merupakan seorang dosen sejarah dari Universitas Melbourne Australia yang sering kali melakukan kajian mengenai sejarah Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Seperti bukunya ini, beliau ingin menyajikan upaya-upaya yang dilakukan institusi militer Indonesia dalam pembuatan citra mereka. Buku ini ditulis berdasarkan hasil dari pemeriksaan salah satu lembaga kunci dalam militer Indonesia, Pusat Sejarah ABRI, yang dilakukan oleh sekelompok studi kecil. Pemeriksaan tersebut meliputi wawancara dengan staf Pusat, catatan museum, buku panduan, koleksi doktrin militer, prosiding seminar, film, buku teks, dan sejarah peringatan militer dan Pusat. Salah satu yang menarik dari buku ini adalah pembahasan unik mengenai pentingnya sejarah bagi kekuatan militer yang dipolitisasi dan bagi negara yang sedang dimodernisasi.
BAB I Sejarah dalam pengabdian kepada Rezim yang Otoriter
Pada bab pertama ini, penulis ingin menunjukkan bagaimana perjalanan panjang dari sejarah penulisan sejarah Indonesia. Hal ini nampak ketika penulis membahas mengenai riwayat penulisan sejarah Indonesia tentang beberapa peristiwa sejarah yang telah dialami oleh bangsa ini. Khususnya tentang peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu tahun 1950-an hingga menjelang tahun 1965. Dengan melihat perjalanan penulisan sejarah Indonesia tersebut, dapat diketahui bahwa orientasi dari penulisan sejarah Indonesia adalah untuk kepentingan nasionalisme bangsa. Di bab ini, penulis juga membandingkan penulisan sejarah masa Demokrasi Terpimpin dengan masa Orde Baru. Namun, hasil penulisan sejarah masa Demokrasi Terpimpin sangat sedikit untuk diteliti. Ini berbanding terbalik dengan masa Orde Baru yang masih dapat kita temukan karya-karyanya.
Dengan membandingkan keduanya, dapat kita kumpulkan persamaan dan perbedaan penulisan sejarah dari masa-masa tersebut. Persamaan antara keduanya adalah sejarah sama-sama digunakan untuk memupuk rasa nasionalisme. Perbedaannya adalah dalam merekonstruksi sejarah, masa Orde Baru lebih menekankan pada peranan penting militer dalam perjalanan sebuah bangsa, sedangkan masa Demokrasi Terpimpin lebih kepada nilai-nilai revolusi. Namun, kajian-kajian lebih lanjut mengenai sejarah dibatasi pada masa Orde Baru. Hal ini mereka lakukan untuk melegitimasi kekuasaan mereka sebagai penguasa.
BAB II Nugroho Notosusanto dan Awal Mula Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata
Nugroho Notosusanto merupakan seseorang yang memiliki peranan yang cukup sentral untuk mendalami penulisan sejarah militer Indonesia. Latar belakang beliau yang merupakan anggota generasi 45 yang pernah merasakan hidup pada masa pemerintahan Jepang yang militeristik dan ikut berjuang mengangkat senjata pada masa perang kemerdekaan (1945-1949) membuat dirinya miliki cara berpikir yang sama dengan Presiden Suharto dan Jendral Nasution. Oleh karena itu, beliau merupakan seseorang yang berharga bagi masa Orde Baru, bahkan Jendral Nasution mengangkatnya sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI pada tahun 1964. Nugroho adalah pribadi yang cocok dengan posisi itu. Menurut Jendral Nasution, Nugroho merupakan seseorang yang setia kepada militer Indonesia dan memiliki semangat nasionalisme.
Dari posisi tersebut, Nugroho mulai membuat beberapa proyek besar sejarah untuk masa Orde Baru. Proyek pertamanya adalah versi Angkatan Darat dari Kudeta 1965. Dengan begitu, tujuan didirikannya Pusat Sejarah ABRI tidak lain dan tidak bukan untuk menulis sejarahnya sendiri berdasarkan peristiwa yang terjadi. Selain itu, tujuan utamanya adalah untuk hal-hal politis.
BAB III Sejarah Untuk Membela Rezim Orde BaruÂ
Setelah satu tahun lembaga Pusat Sejarah ABRI berdiri, tepatnya tahun 1965 merupakan tahun terjadinya usaha kudeta. Hal ini langsung disambut oleh Nugroho sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI dengan menarasikan peristiwa ini dalam sebuah buku berjudul "40 Hari Kegagalan 'G-30-S' 1 Oktober-10 November". Buku ini langsung menjadi tonggak propaganda Orde Baru untuk 30 tahun ke depan dan menjadikannya sebagai versi resmi dari kisah usaha kudeta 65. Gambaran tentang usaha kudeta ini menjadi sangat penting bagi legitimasi rezim untuk melarang PKI dan segala hal yang berkaitan dengannya. Tidak hanya di dalam negeri, bahkan narasi ini juga dibawa ke ranah internasional dengan menerbitkannya dalam bahasa Inggris.Â
Hal ini secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk mengiyakan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah demikian. Antikomunisme tumbuh di antara masyarakat pada masa Orde Baru. Bahkan, pengaruhnya juga masih dapat kita temui di masa reformasi. Stigma mengenai komunis dibenak masyarakat menjadi tanda kesuksesan Orde Baru dalam melegitimasi kekuasaannya dan proyek militernya. Versi resmi Orde Baru ini juga digunakan untuk menetapkan nilai-nilai inti Pancasila, utamanya pada agama dan moralitas. Selain itu, narasi yang dibuat akan menekankan pada usaha Angkatan Darat dalam melindungi Pancasila. Dengan adanya peristiwa ini, Nugroho dan Pusat Sejarah ABRI akan lebih melihat lagi peristiwa-peristiwa sejarah lainnya untuk menaikkan pamor militer dalam sejarah Indonesia, mengukuhkan persatuan, nilai-nilai militer, dan melegitimasi rezim Orde Baru.Â
BAB IV Mengkonsolidasi Kesatuan MiliterÂ
Apa yang telah digambarkan Pusat Sejarah ABRI dalam upaya penumpasan komunis untuk menegakkan Pancasila adalah gambaran yang sudah terputus dari kenyataanya. Hal ini sebagai akibat dari adanya legitimasi yang harus dimasukkan ke dalam narasi sejarah. Setelah karya pertamanya selesai, Pusat Sejarah ABRI ingin memperkuat persatuan di dalam tubuh ABRI sendiri. Caranya dengan membatasi lembaga yang memproduksi narasi sejarah dalam setiap Angkatan Bersenjata dan memusatkannya pada Pusat Sejarah ABRI. Segala bentuk hal yang berkaitan dengan narasi sejarah seperti museum dan monumen, pengelolaannya disentralisasi.
Selain itu, proses regenerasi militer juga dipikirkan oleh Pusat Sejarah ABRI untuk meneruskan etos dan semangat dalam perang kemerdekaan kepada generasi muda militer. Hal ini dibahas pada seminar 1972 mengenai pewarisan nilai-nilai baru tentang 1945. Perbedaannya dengan nilai-nilai 1945 era Demokrasi Terpimpin adalah versi ini lebih menekankan pada perjuangan bersenjata. Seminar itu sendiri merangsang sejumlah proyek sejarah yang bertujuan untuk mempromosikan nilai-nilai 1945. Hal ini terlihat dari apa yang Akademi Militer Magelang lakukan kepada para taruna muda, mereka diharuskan untuk melakukan napak tilas perjalanan gerilya Panglima Sudirman agar dapat menghayati etos militer dari versi periode perang gerilya yang sudah diromantisasi. Selain kepada militer, seminar ini juga ditujukan kepada masyarakat umum untuk memperkenalkan militerisme dan konsep dwifungsi.
BAB V Mempromosikan Militer dan Dwifungsi kepada Masyarakat SipilÂ
Dengan bergeraknya posisi militer Indonesia dari posisi bertahan kemudian berubah menjadi menyerang demi mengendalikan narasi sejarah versi mereka sudah terjadi mulai awal periode Orde Baru. Pada masa Demokrasi tepimpin posisi militer saat itu sangat bertahan demi mempertahankan konsep-konsep nasionalisme dalam menarasikan sejarah. Berbeda dengan pada masa Orde Baru yang mulai menunjukkan agresifitasnya dalam mengendalikan narasi sejarah kudeta nasional dengan menggunakan versi mereka.
Adanya Seminar 1972 yang bertujuan sebagai upaya dalam melanggengkan kekuasaan militer untuk memiliki martabat di mata masyarakat Indonesia dengan menekankan pada konsep nilai-nilai 45 ini menjadi doktrin yang selama ini mereka tekankan di segala bentuk narasi sejarah. Hal ini dapat kita lihat melalui karya-karya terbitan Pusat Sejarah ABRI pada periode Orde Baru yang sangat kental nuansa untuk menganggap militer Indonesia merupakan salah satu yang paling berperan besar dalam peristiwa kemerdekaan. Bahkan hal ini juga dijadikan untuk konsumsi umum dengan menempatkan berbagai macam acara di media cetak maupun digital pada masa itu. Terutama dalam bidang pendidikan dengan adanya mata pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) yang sangat kental aksen-aksen militernya. Hal ini sebenarnya banyak dikritik oleh berbagai pihak, namun Nugroho Notosusanto tetap melanjutkannya serta berdalih bahwa sejarah harus digunakan sebagai sarana pemberin inspirasi masyarakat untuk berperan dalam pembangunan negara.Â
BAB VI Menetapkan Tradisi Kemiliteran dan Musuh-musuh NegaraÂ
Sepeninggal Nugroho Notosusanto, tepatnya pada pertengahan tahun 80-an perubahann-perubahan dalam tubuh ABRI kian nampak. Apalagi banyak dari angkatan generasi 45 yang mulai pensiun dari ABRI. Fokus utama dari Pusat Sejarah ABRI juga ikut berubah, terutama dalam melegitimasi individu militer generasi-generasi berikutnya. Salah satu contohnya adalah dengan diselesaikannya proyek Museum Keprajuritan Nasional yang berorientasi pada perjuangan para pahlawan pra-kemerdekaan dan perlawanan anti-kolonial. Hal ini menunjukkan kepada para prajurit dan masyarakat bahwa militer Indonesia memiliki tradisi yang panjang.
Peranan militer dalam membela Pancasila pada masa Orde Baru memang sangat mencolok. Hal ini juga tidak terlepas dari adanya Seminar 1972 itu sendiri. Terlebih pada siapa saja yang ingin mengganti Pancasila dari Ideologi bangsa, baik itu dari pihak ekstrim kiri maupun ekstrim kanan. Kisah usaha kudeta menjadi salah satu kisah yang sangat menonjolkan betapa dominannya peranan militer pada narasi sejarah periode Orde Baru. Narasi tersebut juga secara tidak langsung mendorong atau menanamkan kepada masyarakat dehumanisasi/membiadapkan musuh negara. Karya Pusat Sejarah ABRI yang menonjolkan hal itu adalah Museum Pengkhianatan PKI dan Museum Waspada Purbawisesa. Dengan cara seperti itulah sejarah dipakai oleh Angkatan Bersenjata untuk mengendalikan dan menguasai rakyat.Â
KesimpulanÂ
Dari apa yang telah dijelaskan di dalam buku yang sangat kompleks ini, dapat kita ketahui bahwa bagaimana militer Indonesia berusaha mendominasi kekuasaan di Indonesia pada masa Orde Baru dengan menggunakan narasi sejarah. Penjelasan yang cukup simpel dan menarik sangat memungkinkan sekali untuk dibaca khalayak umum. Namun, penggunaan kata-kata yang ada di dalam buku ini sedikit sulit untuk dimengerti oleh sebagian orang karena terdapat kata-kata dalam bidang militer yang jarang orang ketahui. Dominasi militer, khususnya Angkatan Darat, dalam narasi panjang sejarah Indonesia akan selalu menjadi bagian dari perjalanan bangsa ini. Entah dapat dikatakan perjalanan yang baik atau buruk, terlepas dari itu semua masyarakat harus bisa lebih selektif lagi dalam membaca mengenai berbagai macam narasi sejarah yang ada. Selain itu, memindahkan sudut pandang kita dari satu sudut pandang ke sudut pandang lain dalam memahami peristiwa sejarah sangatlah penting untuk dapat memberikan pendapat yang lebih bijak.
Dengan begitu, buku ini menjadi salah satu buku yang membahas mengenai sejarah militer Indonesia yang mana si penulis, Katharine E. Mcgregor, mengambil periode waktu ketika dominasi militer Indonesia terhadap segala bidang di Indonesia sangat besar. Penulis berhasil menyajikan data-data yang ia peroleh ketika melakukan riset mengenai militer Indonesia ini dengan sangat baik. Mulai dari upaya militer mendapatkan kesempatan hingga cara mereka mempertahankan citranya di mata rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H