BAB IV Mengkonsolidasi Kesatuan MiliterÂ
Apa yang telah digambarkan Pusat Sejarah ABRI dalam upaya penumpasan komunis untuk menegakkan Pancasila adalah gambaran yang sudah terputus dari kenyataanya. Hal ini sebagai akibat dari adanya legitimasi yang harus dimasukkan ke dalam narasi sejarah. Setelah karya pertamanya selesai, Pusat Sejarah ABRI ingin memperkuat persatuan di dalam tubuh ABRI sendiri. Caranya dengan membatasi lembaga yang memproduksi narasi sejarah dalam setiap Angkatan Bersenjata dan memusatkannya pada Pusat Sejarah ABRI. Segala bentuk hal yang berkaitan dengan narasi sejarah seperti museum dan monumen, pengelolaannya disentralisasi.
Selain itu, proses regenerasi militer juga dipikirkan oleh Pusat Sejarah ABRI untuk meneruskan etos dan semangat dalam perang kemerdekaan kepada generasi muda militer. Hal ini dibahas pada seminar 1972 mengenai pewarisan nilai-nilai baru tentang 1945. Perbedaannya dengan nilai-nilai 1945 era Demokrasi Terpimpin adalah versi ini lebih menekankan pada perjuangan bersenjata. Seminar itu sendiri merangsang sejumlah proyek sejarah yang bertujuan untuk mempromosikan nilai-nilai 1945. Hal ini terlihat dari apa yang Akademi Militer Magelang lakukan kepada para taruna muda, mereka diharuskan untuk melakukan napak tilas perjalanan gerilya Panglima Sudirman agar dapat menghayati etos militer dari versi periode perang gerilya yang sudah diromantisasi. Selain kepada militer, seminar ini juga ditujukan kepada masyarakat umum untuk memperkenalkan militerisme dan konsep dwifungsi.
BAB V Mempromosikan Militer dan Dwifungsi kepada Masyarakat SipilÂ
Dengan bergeraknya posisi militer Indonesia dari posisi bertahan kemudian berubah menjadi menyerang demi mengendalikan narasi sejarah versi mereka sudah terjadi mulai awal periode Orde Baru. Pada masa Demokrasi tepimpin posisi militer saat itu sangat bertahan demi mempertahankan konsep-konsep nasionalisme dalam menarasikan sejarah. Berbeda dengan pada masa Orde Baru yang mulai menunjukkan agresifitasnya dalam mengendalikan narasi sejarah kudeta nasional dengan menggunakan versi mereka.
Adanya Seminar 1972 yang bertujuan sebagai upaya dalam melanggengkan kekuasaan militer untuk memiliki martabat di mata masyarakat Indonesia dengan menekankan pada konsep nilai-nilai 45 ini menjadi doktrin yang selama ini mereka tekankan di segala bentuk narasi sejarah. Hal ini dapat kita lihat melalui karya-karya terbitan Pusat Sejarah ABRI pada periode Orde Baru yang sangat kental nuansa untuk menganggap militer Indonesia merupakan salah satu yang paling berperan besar dalam peristiwa kemerdekaan. Bahkan hal ini juga dijadikan untuk konsumsi umum dengan menempatkan berbagai macam acara di media cetak maupun digital pada masa itu. Terutama dalam bidang pendidikan dengan adanya mata pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) yang sangat kental aksen-aksen militernya. Hal ini sebenarnya banyak dikritik oleh berbagai pihak, namun Nugroho Notosusanto tetap melanjutkannya serta berdalih bahwa sejarah harus digunakan sebagai sarana pemberin inspirasi masyarakat untuk berperan dalam pembangunan negara.Â
BAB VI Menetapkan Tradisi Kemiliteran dan Musuh-musuh NegaraÂ
Sepeninggal Nugroho Notosusanto, tepatnya pada pertengahan tahun 80-an perubahann-perubahan dalam tubuh ABRI kian nampak. Apalagi banyak dari angkatan generasi 45 yang mulai pensiun dari ABRI. Fokus utama dari Pusat Sejarah ABRI juga ikut berubah, terutama dalam melegitimasi individu militer generasi-generasi berikutnya. Salah satu contohnya adalah dengan diselesaikannya proyek Museum Keprajuritan Nasional yang berorientasi pada perjuangan para pahlawan pra-kemerdekaan dan perlawanan anti-kolonial. Hal ini menunjukkan kepada para prajurit dan masyarakat bahwa militer Indonesia memiliki tradisi yang panjang.
Peranan militer dalam membela Pancasila pada masa Orde Baru memang sangat mencolok. Hal ini juga tidak terlepas dari adanya Seminar 1972 itu sendiri. Terlebih pada siapa saja yang ingin mengganti Pancasila dari Ideologi bangsa, baik itu dari pihak ekstrim kiri maupun ekstrim kanan. Kisah usaha kudeta menjadi salah satu kisah yang sangat menonjolkan betapa dominannya peranan militer pada narasi sejarah periode Orde Baru. Narasi tersebut juga secara tidak langsung mendorong atau menanamkan kepada masyarakat dehumanisasi/membiadapkan musuh negara. Karya Pusat Sejarah ABRI yang menonjolkan hal itu adalah Museum Pengkhianatan PKI dan Museum Waspada Purbawisesa. Dengan cara seperti itulah sejarah dipakai oleh Angkatan Bersenjata untuk mengendalikan dan menguasai rakyat.Â
KesimpulanÂ
Dari apa yang telah dijelaskan di dalam buku yang sangat kompleks ini, dapat kita ketahui bahwa bagaimana militer Indonesia berusaha mendominasi kekuasaan di Indonesia pada masa Orde Baru dengan menggunakan narasi sejarah. Penjelasan yang cukup simpel dan menarik sangat memungkinkan sekali untuk dibaca khalayak umum. Namun, penggunaan kata-kata yang ada di dalam buku ini sedikit sulit untuk dimengerti oleh sebagian orang karena terdapat kata-kata dalam bidang militer yang jarang orang ketahui. Dominasi militer, khususnya Angkatan Darat, dalam narasi panjang sejarah Indonesia akan selalu menjadi bagian dari perjalanan bangsa ini. Entah dapat dikatakan perjalanan yang baik atau buruk, terlepas dari itu semua masyarakat harus bisa lebih selektif lagi dalam membaca mengenai berbagai macam narasi sejarah yang ada. Selain itu, memindahkan sudut pandang kita dari satu sudut pandang ke sudut pandang lain dalam memahami peristiwa sejarah sangatlah penting untuk dapat memberikan pendapat yang lebih bijak.