Mohon tunggu...
Rahma Dewi Atmaya
Rahma Dewi Atmaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Kota Bandung

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Mengenal Sisindiran dan maknanya dalam Bahasa Sunda

24 Desember 2024   21:37 Diperbarui: 25 Desember 2024   09:30 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Kalimat “Teu beunang dihurang sawah” memiliki makna bahwa seseorang tidak bisa mendapatkan apa yang ia inginkan baik dalam hal materi maupun percintaan. Sedangkan kalimat “Teu beunag dipikameumeut” bermaknakan orang yang tidak dapat diberi kasih saying atau perhatian dari orang lain. Jadi makna dari wawangsalan tersebut keadaan dimana seseorang merasa gagal atau tidak berhasil dalam mencapai tujuannya baik dalam aspek material maupun cinta.

      Sudah menjadi sebuah ciri khas tersendiri bahwa masyarakat Sunda mempunyai budaya yang banyak untuk dikembangkan, salah satunya sisindiran merupakan warisan budaya yang dikembangkan oleh kerajaan Padjajaran. Dengan adanya sinsidiran memiliki peran penting dalam kerajaan Padjajaran dalam menyampaikan sebuah ajaran, perasaan dan situasi masyarakat. Dari tiga jenis sisindiran yang ada masing-masing memiliki karakteristik dan fungsi yang berbeda namun tetap menyampaikan pesan moral, pendidikan, dan hiburan. Maka dari itu sisindiran mampu beradaptasi dengan genre sastra dari zaman ke zaman dan tetap relevan dengan zaman sekarang ini. Dengan menggunakan sisindiran kita ikut melestarikan kebudayaan Sunda yang sudah lama di kembangkan oleh kerajaan Padjajaran. Sisindiran merupakan karya sastra yang masih harus di populerkan supaya generasi muda dapat melihat bahwa indah nya sisindiran yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan, lelucon, kritik, nasehat dan keadaan lingkungan.

Terdapat tiga jenis sisindiran, yaitu rarakitan, paparikan, dan wawangsalan, masing-masing dengan struktur dan fungsi yang berbeda. Rarakitan menekankan hubungan suara antara sampiran dan isi, paparikan berfokus pada pola vokalisasi, sedangkan wawangsalan berbentuk teka-teki dengan makna tersirat.

Selain sebagai hiburan, sisindiran juga menjadi media untuk menyampaikan nilai religius, pendidikan, politik, sosial, dan nasehat. Dalam era modern, sisindiran tetap relevan dan fleksibel, bahkan diapresiasi melalui berbagai genre sastra dan media seperti televisi, menjadikannya bagian penting dari kebudayaan Sunda.

Referensi 

Koswara, Deni, ‘Puisi Sisindiran Bahasa Sunda Di Kabupaten Bandung (Kajian Isi Dan Fungsi) Sisindiran’, 2011, 245–59

Sastra, Pembelajaran Apresiasi, ‘Analysis of the Types and Meaning of Sisindiran Community of Teluk Village, Labuan District and Its Use as Learning Material for Literary Appreciation’, 5.2 (2024), 131–41

SUMARNI, HENA, ‘KALIMAT DALAM SISINDIRAN DAN WAWANGSALAN ANYAR KARYA DÉDY WINDYAGIRI (Kajian Struktur Dan Semantik)’, Lokabasa, 7.1 (2016), 35

Wardah, Eva Sayrifah, ‘Pantun Sisindiran Di Banten’:, Tsaqôfah; Jurnal Agama Dan Budaya, 13.2 (2015), 161–73

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun