Mohon tunggu...
Rahma Dewi Atmaya
Rahma Dewi Atmaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Kota Bandung

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Mengenal Sisindiran dan maknanya dalam Bahasa Sunda

24 Desember 2024   21:37 Diperbarui: 25 Desember 2024   09:30 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sisindiran adalah warisan budaya lisan dari Kerajaan Padjajaran. Dahulu sisindiran digunakan untuk menyampaikan pokok-pokok ajaran istana. Tetapi seiring perkembangan zaman sisindiran digunakan untuk mengungkapkan perasaan, keadaan lingkungan dan situasi masyarakat. Pada Bahasa Indonesia sisindiran adalah pantun atau puisi yang terbatas pada rima dan irama. Kata sisindiran berasal dari kata sindir yang berarti sisi. Berbicara menggunakan sisindiran berarti berbicara tidak langsung apa adanya hal ini untuk menghormati yang diajak bicara dan tidak menyinggung perasaannya Biasanya sisindiran digunakan dalam waktu bergurau atau santai. Menurut Kamus Umum Basa Sunda (LBBS) sisindiran adalah Bahasa yang dibentuk oleh sejumlah suku kata yang bisa dilagukan yang berisikan ada sampiran dan isi.  Sisindiran bukan hanya sebagai media hiburan, tetapi bisa menjadi media religius, pendidikan, politik, sosial dan nasehat. Struktur sisindirian berisikan sejumlah suku kata yang membentuk larik lalu larik membentuk bait.

Dalam perkembangannya, sisindiran sangat fleksibel dan mudah memasuki berbagai genre sastra lainnya, seperti cerita pantun, wawacan, novel, cerpen, novelet, bahkan kadang-kadang muncul juga pada puisi modern. Kini, sisindiran tampaknya tidak mau ketinggalan. Bentuknya dapat ditayangkan di televisi dengan materi yang sangat menarik perhatian serta diminati oleh masyarakat.

Apa itu sisindiran?

Wibisana (2000: 431) menyebutkan bahwa sisindiran dalam sastra Sunda sama dengan pantun dalam sastra Melayu atau Indonesia. Sedangkan dalam khazanah sastra Jawa, dikenal pula karangan sejenis yang disebut parikan (Soebagyo, 1992: vii). Sumarsono dan Faturahman (2008: 87) menyebutkan bahwa sisindiran dalam sastra Sunda mempunyai bentuk dan pola yang ajeg. Bentuk dan pola tersebut digambarkan sebagai berikut:

  • Dalam satu bait terdiri dari empat baris.
  • Tiap baris berjumlah delapan suku kata.
  • Terdapat purwakanti engang (kedekatan bunyi suku kata) antara baris kesatu dan ketiga, kedua dan keempat.
  • Dua baris pertama adalah cangkang (sampiran) dan dua baris berikutnya adalah isi (eusi).

Macam-macam sisindiran

Sisindiran digolongkan menjadi 3 macam yaitu rarakitan, paparikan dan wawangsalan yang setiap golongannya memiliki struktur yang berbeda.

  • Rarakitan

Rarakitan adalah bentuk sisindiran yang berisikan sampiran dan isi. Rarakitan sendiri artinya berpasangan. Jadi kata pada awal baris sampiran diulangi lagi pada awal baris isi. Rarakitan terdiri dari 4 larik yaitu 2 larik berisi sampiran dan 2 larik berisi isi. Hubungan antara sampiran dan isi yaitu harus satu suara serta harus sama purwakanti dalam setap akhir kalimat. Rarakitan terdiri dari sampiran dan isi yang jumlah suku kata sama pada setiap larik.

Contoh rarakitann:

Lamun urang ka Cikole (kalau kita pergi ke cikole)

Moal hese tumpak kahar (tidak akan susah naik delman)

Lamun urang daek gawe (kalau kita mau bekerja)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun