Indonesia memerdekaan diri pada 17 Agustus 1945. Sebagai sebuah negara dengan rakyat berjumlah 80 juta jiwa pada waktu itu memerlukan penyaluran aspirasi politik. Wakil Presiden Mohammad Hatta menerbitkan Maklumat Wakil Presiden tanggal 3 November 1945 tentang Pembentukan Partai Politik. Maklumat ini diterbitkan sebagai upaya membangun demokrasi dan menata kehidupan politik Indonesia yang baru merdeka. Pada waktu itu Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengkonsolidasikan kekuasaan dan dukungan rakyat di tengah tekanan dari Belanda dan sekutunya. Di sisi lain, rakyat membutuhkan wadah untuk menyalurkan aspirasi politik dan partai politik merupakan instrumen penting dalam mengembangakan sistem demokrasi. Maklumat Wakil Presiden bertujuan untk meningkatkan partisipasi politik rakyat dengan memberikan ruang dan kesempatan kepada rakyat untuk berkumpul dalam partai pilitik untuk menyalurkan aspirasinya. Pembentukan partai politik juga menjadi wadah perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Partai politik dimanfaatkan untuk menggalang dukungan terhadap pemerintahan yang sah dan bersama-sama menghadapi ancaman dari Belanda yang ingin kembali merebut kendali atas Indonesia. Setelah Maklumat ini bermunculan beberapa partai politik seperti PNI, Masyumi, PSI dan sebagainya.
      Pemilu pertama dilaksanakan pada tahun 1955 dengan tujuan memilih anggota DPR dan Konstituante dengan partai peserta pemilu sebanyak 172 partai dan beberapa calon independen.  Pemilu kedua sampai keenam pada masa Orde Baru. Pemilu tahun 1971 diikuti 10 partai politik dan 1 Golongan Karya. Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997 diikuti 3 kontestan yaitu 2 partai politik (PPP dan PDI) dan 1 Golongan Karya. Pemilu tahun 1999 sebagai pemilu pertama di era reformasi, diikuti 48 partai politik. Pemilu tahun 2004 diikuti 24 partai politik dan merupakan pemilihan langsung pertama terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu tahun 2009 diikuti 38 partai politik. Pemilu tahun 2014 diikuti 12 partai politik. Pemilu tahun 2019 diikuti 16 partai politik dan merupakan pemilu serentak pertama di mana pemilu legislatif dan presiden dilakukan bersamaan. Pemilu tahun 2024 merupakan pemilu serentak pertama kali antara pemilu legistatif dan presiden pada tahap I dan pemilihan kepala daerah pada tahap II.
      Untuk pelaksanaan pilkada langsung pertama dilaksanakan di Kabupaten Kutai Kartanegara. Pilkada serentak pertama pada tahun 2015 dilaksanakan di 269 daerah yaitu 9 provinsi, 224 kabupaten dan 36 kota. Pilkada serentak kedua pada tahun 2017 dilaksanakan di 101 daerah. Pilkada serentak ketiga di tahun 2018 pada 171 daerah. Pilkada serentak keempat tahun 2020 pada 270 daerah. Dan pilkada serentak kelima tahun 2024 pada seluruh provinsi, kabupaten dan kota.
      Sejak pemilu tahun 1955 sampai pemilu/pilkada tahun 2024 semua dilaksanakan secara konvensional, dengan melakukan pencoblosan atau pencontrengan pada kertas suara di bilik suara. Membutuhkan biaya dan sumber daya yang sangat besar baik dari sisi struktur penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) maupun kontestan pemilu/pilkada itu sendiri. Sifat manual dan konvensional membawa pengaruh mudahnya terjadi kesalahan baik kesalahan human error maupun kesalahan parsial maupun terstruktur sistemik dan masif. Kesalahan ini akan berujung pada pengaduan ke DKPP dan Mahkamah Konstitusi. Biaya besar dan rawan konflik membuat kualitas pemilu/pilkada menjadi tidak sinergis dengan semangat dari Maklumat Wakil Presiden tahun 1945 dari tujuan pembentukan Partai Politik dalam mendukung pembangunan nasional dalam upaya memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Yang tak kalah pentingnya adalah kerusakan mental di kalangan masyarakat akibat politik uang yang merajalela hampir di seluruh lapisan masyarakat.
      Tingginya biaya politik, konflik sosial dan perilaku koruptif pasca pemilu/pilkada pada pemerintahan menjadi alasan utama untuk mengkaji ulang pelaksanaan pemilu/pilkada langsung. Alternatif pertama adalah dikembalikannya pemilu/pilkada dengan sistem perwakilan untuk Presiden dan Kepala Daerah serta pemilu sistem tertutup berdasarkan nomor urut calon calon yang disusun oleh partai. Ini akan kembali pada sistem pemilu/pilkada pada masa Orde Baru.
      Pertanyaannya : apakah kembali ke sistem pemilu/pilkada perwakilan akan menghapus biaya tinggi, konflik sosial dan perilaku koruptif pemerintahan ?
      Untuk penghematan biaya dari sisi penyelenggara pemilu/pilkada pada jajaran KPU dan Bawalu ya, akan terjadi penghematan besar-besaran karena proses demokrasi akan diperwakilkan pada MPR, DPR dan DPRD. Untuk penghematan dari sisi sumber daya tim sukses peserta pemilu/pilkada ya karena tidak diperlukan lagi struktur tim sukses sampai ke tingkat desa karena pertarungan terpusat di MPR, DPR dan DPRD.
      Tapi untuk penghematan biaya dari sisi kandidat pada pemilu/pilkada masih menjadi pertanyaan besar. Calon legislatif akan mengeluarkan biaya besar untuk mendapatkan nomor urut atas. Pemilihan calon kepala negara maupun calon kepala daerah di MPR, DPR dan DPRD tidak ada yang bisa menjamin tidak akan terjadi transaksional dan sangat tergantung pada tingkat kompetisi dan ambisi terhadap jabatan yang diperebutkan. Mekanisme ekonomi pasar sesuai hukum permintaan dan penawaran akan terjadi.
      Oleh karena itu rencana perubahan dari pemilu/pilkada langsung menjadi pemilu/pilkada perwakilan masih belum bisa menjawab tantangan biaya tinggi, konflik sosial dan perilaku koruptif pemerintahan.
      Saya sendiri memandang perlu untuk kita kaji pelaksanaan Digitalisasi Pemilu/Pilkada. Kita memiliki banyak lembaga riset dan penelitian yang siap mengembangkan Digitalisasi Pemilu/Pilkada. Dengan digitalisasi maka banyak proses manual konvensional yang bisa kita hapus dan bisa menghemat biaya besar-besaran. Dengan digitalisasi kita tidak membutuhkan lagi struktur penyelenggara pemilu KPU dan Bawaslu dengan struktur dan sumber daya yang sangat banyak. Dengan didukung oleh operator seluler kita bisa mengembangkan kampanye online sehingga tidak dibutuhkan lagi jumlah tim sukses yang terlalu besar untuk memperkenalkan kepada masyarakat. Dengan dukungan kebijakan perbankan dengan cara pembatasan peredaran dan transaksi mata uang tunai maka volume politik uang akan jauh berkurang.
      Digitalisasi pemilu/pilkada dengan mengintegrasikan teknologi digital dalam semua tahapan pemilu/pilkada untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, keamanan, dan partisipasi pemilih. Digitalisasi pemilu/pilkada mencakup penggunaan perangkat lunak, perangkat keras, dan infrastruktur digital untuk mendukung aktivitas pemilu/pilkada mulai dari pendaftaran pemilih hingga penghitungan suara. Pendaftaran pemilih elektronik dilakukan dengan menggunakan data kependudukan yang ada pada Dinas Kependudukan seluruh Indonesia. Terhadap penduduk yang belum terdaftar agar segera dilakukan percepatan pendaftaran. Data pemilih disimpan dalam sistem terpusat untuk mempermudah validasi dan mencegah duplikasi.