Apabila terjadi penyimpangan kualitas pada pelaksanaan kontrak maka pengaduan pada pelaksanaan tender sudah bisa ditindaklanjuti dengan pemeriksaan oleh aparat penegak hukum (APH). Di samping masalah kualitas produk, sering juga terjadi penyimpangan anggaran berupa penggelembungan harga. Juga bisa terjadi penggelembungan volume.Â
Sebagai akibat dari potensi permasalahan hukum yang sangat luas jangkauannya pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut maka sebagian besar ASN sangat menjauhi penugasan di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah. Bukan hanya terjadi di tingkatan staf tapi juga terjadi pada tingkatan pejabat struktural.Â
PA ataupun KPA akan berupaya mendelegasikan penandatanganan Kontrak kepada PPK. Sedangkan PPK akan berusaha juga agar penandatanganan Kontrak dilakukan oleh PA atau KPA. Sehingga sering terjadi anggaran tidak terserap sebagaimana mestinya baik itu mengalami keterlambatan maupun tidak terlaksana sama sekali.
Tentunya apabila penyerapan anggaran terganggu maka proses pembangunan nasional juga akan terganggu. Untuk itu maka Mendagri dan Kapolri dan Jaksa Agung membuat Memorndum of Understanding (MOU) tentang Koordinasi Aparat Pengawas Internal Dengan Aparat Penegak Hukum Terkait Penanganan Laporan Atau Pengaduan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang ditindaklanjuti di tingkat Inspektorat Jenderal Kemendagri, Jampidsus Kejagung dan Kabareskrim Mabes Polri dan seterusnya ditindaklanjuti di tingkat Gubernur dengan Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kepolisian Daerah dan selanjutnya ditindaklanjuti di tingkat Bupati/Walikota dengan Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Kepolisian Resort.Â
Hanya saja masih sering terjadi pengabaian MOU Â tersebut. Namun dengan atau tanpa MOU tetap saja proses pengadaan barang/jasa pemerintah menjadi momok yang menakutkan bagi ASN. Â
Dengan uraian di atas disimpulkan bahwa proses pengadaan barang/jasa pemerintah masih diikuti oleh permasalahan hukum yang menyertainya. Masalah ini dicoba diatasi dengan masuknya pasal pendampingan permasalahan hukum di Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pasal 84 yang mewajibkan instansi pemerintah wajib memberikan pelayanan hukum kepada Praktisi Pengadaan dalam menghadapi permasalahan hukum terkait pengadaan barang/jasa pemerintah.Â
Namun pelayanan hukum tersebut baru diberikan sejak penyelidikan sampai tahap putusan pengadilan. Pasal ini masih banyak diabaikan oleh instansi pemerintah mengingat instansi yang melaksanakan pengadaan barang/jasa pemerintah berbeda dengan instansi yang melaksanakan pelayanan hukum.Â
Belum lagi kurangnya pemahaman tentang pengadaan barang/jasa pemerintah oleh pengacara yang disediakan oleh instansi pemerintah tersebut.
Dalam banyak hal sering terjadi tidak adanya pelayanan hukum yang diberikan oleh instansi pemerintah kepada Praktisi Pengadaan yang terkena permasalahan hukum. Sehingga Praktisi Pengadaan harus mengurus sendiri permasalahannya.Â
Tentu ini membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit. Mulai dari biaya pengacara, biaya operasional dan transportasi ke pengadilan tindak pidana korupsi, biaya menghadirkan saksi-saksi dan saksi ahli. Kesemuanya itu tentu sangat memberatkan bagi Praktisi Pengadaan.Â
Padahal ketika Praktisi Pengadaan melaksanakan tugasnya di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah belum tentu mendapat honorarium dan imbalan yang memadai. Dengan keterbatasan biaya yang dimiliki tentu tidak bisa membayar pengacara yang memadai dalam menghadapi permasalahan hukum yang menimpanya.