Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin pesat serta arus informasi yang semakin tidak terarah, manusia banyak membandingkan dirinya dengan orang lain yang sebagian besar akan berujung pada munculnya rasa insecure. Selain itu, overthinking berupa kekhawatiran akan ketidakpastian masa depan juga turut menghantui setiap langkahnya. Hal tersebut menjadi salah satu dari beberapa penyebab terganggunya kesehatan mental seseorang yang jika dibiarkan begitu saja maka akan mengganggu ketenangan hidupnya. Maka dari itu, sebagai manusia khususnya umat muslim, kita wajib mengimani rukun iman ke-6 yaitu iman kepada qadha dan qadar yang akan membantu kita dalam menghadapi segala ketidakpastian akan masa depan sehingga tidak muncul segala kekhawatiran tersebut.
Mengutip dari pemaparan M. Fathi Dikla & Abdul Rasyid Ridho (2024) pada artikelnya yang bertajuk Qadha dan Qadar Manusia dalam Al-Quran, konsep qadha dan qadar merupakan aspek fundamental dalam ajaran Islam yang membentuk keyakinan manusia. Qadha secara etimologi memiliki arti hukum, ketentuan, keputusan, ketetapan terhadap suatu perkara. Sedangkan Qadar berasal dari kata Qudrah dan bisa juga dari Taqdir. Qadha merupakan peristiwa di alam semesta yang keberadaannya dalam lingkup pengetahuan dan kehendak Allah. Sedangkan qadar merupakan ukuran, takaran, pembagian dari ketentuan yang sesuai dengan qadha. Kemudian menurut istilah, qadha merupakan pengetahuan Allah terhadap peristiwa yang telah terjadi, tengah terjadi, dan akan terjadi (keputusan Allah) dan qadar merupakan ketentuan yang Allah berlakukan sesuai dengan pengetahuan atau kehendak Allah (J. Nabiel Aha Putra & Moch Ali Mutawakkil, 2020).
Allah telah menentukan takdir setiap manusia bahkan setiap makhluk ciptaannya jauh sebelum manusia atau makhluk tersebut diciptakan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr bin Ash yang berbunyi:Â
"Aku pernah mendengar Rasulullah SAW. bersabda: 'Allah telah menetapkan takdir makhluk ini sebelum Dia menciptakan langit dan bumi dalam jarak waktu lima puluh ribu tahun. Dan 'Arsy-Nya di atas air.'" (HR. Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad).Â
Berdasarkan hadits tersebut, dapat kita renungkan bahwa apalagi yang harus manusia khawatirkan jika segala sesuatunya telah Allah tetapkan bahkan sebelum diciptakannya langit dan bumi? Kehidupan, ajal, rezeki, jodoh, bencana, bahkan sekecil daun yang gugur dari ranting pohon pun tidak luput dari ketetapan Allah. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hadid ayat 22-23 yang artinya:
"Tidak ada bencana (apapun) yang menimpa di bumi dan tidak (juga yang menimpa) dirimu, kecuali telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah. (Yang demikian itu Kami tetapkan) agar kamu tidak bersedih terhadap apa yang luput dari kamu dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri."
Namun, tidak serta merta karena kita mengetahui bahwa takdir telah ditetapkan membuat kita manusia menjadikannya alasan untuk malas berusaha dan pasrah begitu saja, karena manusia tidak diciptakan untuk itu. Manusia diciptakan oleh Allah adalah untuk beribadah, dan bentuk dari ibadah tersebut dapat berupa berdoa serta mengusahakan yang terbaik dalam hidupnya. Kemudian, dalam konsep takdir itu sendiri terdapat dua macam, yaitu takdir muallaq dan takdir mubram. Takdir muallaq adalah ketetapan yang berkaitan dengan usaha dan masih dapat diubah melalui usaha dan doa. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Ar-Ra'd ayat 11 yang artinya:Â
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum (masyarakat) sampai mereka mengubah (terlebih dahulu) apa yang ada pada diri mereka."
Kaitannya takdir muallaq ini pula dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah ibnu Mas'ud ra:
Dari Abdurrahman Abdullah ibnu Mas'ud ra. Berkata: "dari Rasulullah SAW. yang beliau adalah seorang yang benar dan dibenarkan: 'Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya empat puluh hari berupa nutfah (mani), kemudian menjadi 'alaqah (segumpal darah) selama itu juga, lalu menjadi mudghah (segumpal daging) selama itu juga. Kemudian diutuslah malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan empat hal: rezeki, ajal, amal, dan sengsara atau bahagianya. Maka demi Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya, ada salah seorang di antara kalian yang melakukan amalan penghuni surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja, kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan amalan penghuni neraka dan ia masuk neraka. Dan sungguh ada salah seorang di antara kalian yang melakukan amalan ahli neraka sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja, namun kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan amalan penghuni surga dan ia masuk surga (HR. Al-Bukhari).
Kemudian terdapat hadits yang memperjelas matan hadits di atas, yaitu:
"Sesungguhnya di antara kalian yang beramal dengan amalan ahli surga menurut pandangan manusia, padahal sebenarnya ia penduduk neraka." (HR. Muslim).
Maksud dari kedua hadits tersebut yaitu seseorang yang telah melakukan amalan yang benar di mata manusia dan ia telah dekat dengan surga (ini mengacu pada waktu antara hidupnya dan ajalnya yang diibaratkan seperti sehasta) yang kemudian ketika manusia ini mendekati ajalnya dan ia meninggalkan kebiasaannya dalam melakukan amalan ahli surga karena terdapat niat lain di dalam hatinya yaitu berupa riya' dan agar dipandang baik oleh manusia, lantas membuat seseorang ini akhirnya ditetapkan masuk neraka. Sebaliknya terdapat seseorang yang sepanjang hidupnya ia dipandang melakukan amalan ahli neraka dan ia telah dekat dengan neraka (mengacu pada waktu hidup dan ajalnya yang diibaratkan seperti sehasta saja) dan kemudian saat mendekati ajalnya ia meninggalkan kebiasaannya dalam melakukan amalan ahli neraka karena terdapat niat di dalam hatinya untuk bertaubat, maka seseorang ini akhirnya ditetapkan masuk surga.
Dari penjelasan di atas, dapat kita renungkan bahwa manusia sepatutnya mengusahakan yang terbaik sepanjang hidupnya yang tentunya disertai dengan niat yang lurus karena Allah SWT agar senantiasa mendapatkan ridha Allah dan mendapatkan akhir yang baik.
Sedangkan takdir mubram adalah ketetapan yang ada pada diri manusia dan tidak dapat diubah melalui usaha maupun doa. Contoh nyata dari takdir mubram ini adalah terjadinya hari kiamat yang hanya diketahui oleh Allah kapan pastinya hari itu akan tiba. Sebagaimanapun manusia berusaha dan berdoa, tidak bisa membuatnya terhindar dari datangnya hari kiamat tersebut.
Overthinking dalam konotasi negatif seringkali terjadi karena manusia terlalu memikirkan bahkan terkadang memaksakan segala sesuatu yang berada di luar kapasitasnya. Biasanya hal tersebut akan berujung kepada keluh kesah dan munculnya rasa tidak bersyukur atas segala ketetapan yang Allah berikan kepadanya. Bahkan hal terburuk yang dapat terjadi yaitu terganggunya kesehatan mental manusia itu sendiri akibat kelalaiannya dalam berpikir. Hal-hal seperti apa yang terjadi besok, apa hasil yang kita dapatkan setelah berusaha, siapa jodoh kita, rezeki apa yang kita dapatkan setelah ini, mengapa manusia lain lebih unggul dari kita, seringkali menjadi topik-topik yang berputar di dalam benak kita sebagai manusia. Pikiran-pikiran akan hal-hal tersebut tidak akan berhenti sampai diri kita sendiri dapat mengendalikannya dan mulai menerima bahwa setiap hal dan setiap manusia telah ditetapkan takdirnya masing-masing oleh Allah. Dari hal-hal yang telah disebutkan di atas, dapat kita ambil hikmah bahwa yang termasuk dalam kapasitas kita sebagai seorang manusia adalah ikhtiar atau mengusahakan secara terbaik segala sesuatunya serta berdoa kepada Allah agar memberikan hasil dan atau ketetapan yang terbaik berdasarkan dengan usaha terbaik yang kita lakukan, setelah itu tawakkal dan berserah diri serta menerima apapun yang nantinya kita peroleh. Hal-hal yang di luar kapasitas kita sebagai manusia tentunya tidak perlu lagi kita pikirkan karena pada akhirnya hanya akan membebani diri kita sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. (2020). IMPLEMENTASI IMAN KEPADA AL-QADHA DAN AL-QADAR DALAM KEHIDUPAN UMAT MUSLIM. Taklim: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 18, 1-11.
Dikla, M. F., & Ridho, A. R. (2024). QADHA DAN QADAR MANUSIA DALAM AL-QUR'AN. El-Umdah: Jurnal Kajian Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, 7, 56-68. https://doi.org/10.20414/elumdah.v7i1.9899
Putra, J. N. A., & Mutawakkil, M. A. (2020). Qada' dan Qadar Perspektif Al-Qur'an Hadits dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Agama Islam. J-PAI: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 7, 61-71. 10.18860/jpai.v7i1.11232
Savitri, U., Tamrin, M., & Musa, M. (2024). PENGARUH IMAN PADA QADA DAN QADAR TERHADAP INSECURITY PESERTA DIDIK MUSLIM SMA NEGERI 2 KUPANG. TA'LIM: Jurnal Pendidikan Agama Islam dan Manajemen Pendidikan Islam, 3, 96-105.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI