Rumah merupakan salah satu tempat untuk berteduh dan dikategorikan ke dalam kebutuhan primer manusia. Akan tetapi, harga rumah di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan.Â
Naiknya harga rumah secara terus menerus dari tahun ke tahun tentu saja memunculkan kekhawatiran bagi para anak muda di Indonesia terkhususnya generasi Milenial dan Gen Z, di mana hal tersebut memunculkan istilah baru yang disebut Milenial Generation Homeless. Istilah ini merujuk pada fenomena anak muda yang tak mampu membeli rumah karena harganya yang melambung tinggi.
Berdasarkan hasil Survei Harga Properti Residensi (SPHR) yang dilakukan oleh Bank Indonesia, tren kenaikan harga rumah pada triwulan II 2023 tercatat mengalami kenaikan sebesar 1,92% year on year.Â
Presentase ini tentu saja jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kenaikan pada triwulan sebelumnya yang menyentuh angka 1,79% year on year dan peningkatan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) ini dialami oleh semua jenis rumah, baik tipe kecil, tipe menengah, maupun tipe besar.
Seringkali muncul suatu pertanyaan di dalam benak kita apa sih yang membuat Generasi Milenial dan Gen Z ini sulit untuk membeli rumah masa depan mereka?
Harga Rumah yang Semakin Menggila Terutama di Lokasi Strategis
Katakanlah walaupun IHPR menunjukkan kenaikan yang relatif kecil di beberapa tahun ini akan tetapi, faktanya rumah yang terletak di lokasi yang padat penduduk, dekat dengan jalan besar, dekat fasilitas umum harganya tentu saja akan jauh melebihi kenaikan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR).Â
Di sisi lain, terdapat wilayah yang harga rumahnya stagnan dikarenakan lokasinya yang kurang strategis seperti jauh dari pusat kota dan wilayahnya tidak berkembang.Â
Jadi dapat disimpulkan bahwa rumah yang dekat dengan pusat ekonomi serta didukung dengan banyaknya fasilitas umum harganya akan sangat melangit sehingga susah untuk dijangkau oleh sebagian besar masyarakat kita.Â
Perbedaan Prioritas dan Gaya Hidup di Era Modern
Jika kita menengok sebentar ke 20 tahun lalu, tentu saja terjadi perbedaan gaya hidup pada masa itu dan di masa sekarang. Dahulu kebutuhan primer setiap individu relatif sederhana namun, makin kesini kebutuhan primer individu semakin banyak dan bervariasi.Â
Misalkan dari sisi aktivitas sehari-hari orang zaman dahulu cenderung diam di suatu tempat saja, dimana mereka bekerja di tempat yang sama selama belasan atau bahkan puluhan tahun.Â
Bandingkan di era modern seperti sekarang dimana orang-orang memiliki mobilitas yang tinggi, sering berpindah-pindah tempat, maupun berpindah kerja.Â
Hal-hal yang tidak dibutuhkan atau bahkan sama sekali tidak difikirkan beberapa puluh tahun yang lalu, justru sekarang hal tersebut menjadi suatu keharusan atau bisa dikatakan kebutuhan primer untuk menunjang kebutuhan sehari-hari di masa sekarang seperti kuota internet, smartphone, hiburan, laptop dan berbagai hal penunjang produktivitas lainnya.Â
Perlu diakui juga bahwa semakin banyak kebutuhan manusia di era modern ini nyatanya turut berkontribusi dalam menurunkan kemampuan kita untuk membeli rumah.
Adanya Ketimpangan Antara Kenaikan Gaji dengan Kenaikan Harga Properti di Indonesia
Tidak dapat dipungkiri bahwasanya setiap tahun pertumbuhan harga properti di Indonesia melambung tinggi dibandingkan dengan upah karyawan atau pekerja. Dalam satu dekade terakhir, harga rumah tumbuh lebih cepat daripada pendapatan per kapita.Â
Berdasarkan data dari Bank Indonesia dan BPS, diperoleh hasil bahwa saat pendapatan per kapita dalam kondisi minus 3,3% pada tahun 2020 lalu, Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) justru mengalami pertumbuhan sebesar 1,4%.
Generasi Boomers Membuat Rumah Menjadi Sarana Investasi
Bagi generasi Boomers rumah mungkin bukan lagi menjadi sebagai bagian dari kebutuhan primer tetapi, justru sebagai ladang investasi. Mereka membeli banyak tanah yang kemudian dibangun menjadi rumah.Â
Hal ini membuat para boomers memiliki lebih dari satu rumah dan biasanya mereka memilih untuk tidak menjual rumah tersebut dikarenakan untuk koleksi semata.Â
Para boomers ini akan menjual rumahnya jika mereka benar-benar sedang membutuhkan uang atau memperoleh tawaran harga setinggi-tingginya dan hal ini tentu saja memicu terjadinya kenaikan harga rumah.
Fenomena ini tentu saja hal yang amat krusial dan harus segera ditangani oleh stakehoulder terkait agar backlog perumahan tidak semakin membesar. Sebetulnya, pemerintah telah membangun rumah subsidi dengan beberapa skema sebagai suatu win win solution dalam mengatasi permasalahan ini.Â
Salah satunya adalah skema KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Harga yang ditawarkan untuk rumah subsidi ini dimulai dari Rp 162 juta hingga Rp 234 juta, dimana perbedaan harga ini tergantung dari lokasi rumah. Skema FLPP memungkinkan masyarakat berpenghasilan rendah untuk mengakses KPR dengan syarat pembayaran lebih mudah dibandingkan KPR non-subsidi.
Namun, permasalahannya adalah program yang sudah berjalan sejak tahun 2010 ini, hingga tahun 2022 baru mampu menyalurkan bantuan pembiayaan perumahan untuk 1,16 juta unit. Jumlah ini tentu saja tidak cukup untuk menutup backlog perumahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H