Bertahun-tahun yang lalu, saya mengikuti kegiatan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di antara peralihan semester 6 ke semester 7. Saat itu, rasanya senang sekali bisa bertemu dengan teman-teman dari berbagai jurusan.
Saya juga merasa beruntung karena ditempatkan di suatu desa yang dikelilingi sawah yang subur dan luas. Bukan hanya itu saja, di desa tersebut juga terdapat beberapa danau. Saya dan teman-teman sering berjalan-jalan di pematang sawah di tengah-tengah pohon padi yang hijau menyejukkan mata, kadang juga kami naik rakit di salah satu danaunya.
Kami merasa 'everyday is holiday' ketika kegiatan KKN itu walaupun tentu saja kami punya program masing-masing untuk dijalankan sehingga keberadaan kami di sana bermanfaat untuk penduduk sekitar.
Ketika masa KKN itu, saya mempunyai seorang teman yang gemar membaca buku. Dia membawa beberapa koleksi bukunya ke tempat KKN, termasuk tetralogi Pulau Buru dan Gadis Pantai.
Saya pun tertarik untuk membacanya. Yang pertama saya baca adalah buku pertama dari tetralogi Pulau Buru, Bumi Manusia. Selagi saya membaca Bumi Manusia, teman saya pun bercerita tentang sosok sang penulis, Pramoedya Ananta Toer.
Dia bilang, bukunya itu disebut tetralogi Pulau Buru karena ditulis waktu penulisnya ditahan di Pulau Buru oleh pemerintah zaman Orde Baru. Itu karena dulu Pramoedya Ananta Toer pernah bergabung dengan kelompok Lekra dan dituduh komunis. Dia juga bilang, empat novel itu pernah dilarang beredar karena dituduh mengandung ajaran komunisme.
Mendengar itu, saya pun jadi takut membacanya. Tapi, setelah membaca beberapa bab dari buku Bumi Manusia, saya tetap tertarik membacanya karena ceritanya bagus dan penasaran dengan bab selanjutnya. Lagipula, sejauh saya membacanya, tidak ada yang menjurus pada ajaran komunisme.
Pada waktu KKN itu, saya punya banyak waktu santai untuk membaca buku. Setelah selesai membaca Bumi Manusia, saya pun beralih ke buku selanjutnya, yaitu Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Saya menyukai novel tetralogi Pulau Buru karena banyak pengetahuan sejarah di dalamnya dan ceritanya pun sangat menarik. Novel itu berkisah tentang seorang bumiputera bernama Minke yang berjuang di masa awal pergerakan nasional pada waktu zaman kolonialisme Belanda.
Banyak hal yang harus dilalui oleh Minke untuk melawan ketidakadilan dan diskriminasi bagi bangsa pribumi. Kehidupan pribadi Minke juga menarik untuk diikuti, tetapi sayang sekali Minke kurang beruntung. Dia tiga kali menikah dan tiga kali juga harus kehilangan istrinya. Dua istri pertamanya meninggal, sedangkan istri ketiganya entah kemana setelah dia diasingkan oleh pemerintah kolonial dalam waktu yang lama.
Setelah selesai membaca tetralogi Pulau Buru, saya kemudian membaca novel Gadis Pantai. Sama seperti sebelumnya, saya pun langsung menyukai novel ini, apalagi pemeran utamanya adalah seorang gadis muda belia.
Ketika membaca novel itu, saya merasa beruntung terlahir sebagai generasi milenial. Pada zaman kolonialisme, perjodohan dan pernikahan dini bagi gadis-gadis muda adalah biasa.
Gadis Pantai bercerita tentang gadis miskin yang tinggal di pesisir pantai dan terpaksa menikah dengan seorang priyayi. Berbagai tantangan harus dihadapi oleh si gadis pantai di lingkungan barunya. Dia juga harus beradaptasi sebagai istri dari seorang priyayi.
Ada adegan dalam novel itu yang membuat saya kagum dengan penulis, yaitu penulis menggambarkan adegan waktu si gadis pantai selesai shalat dan dia masih duduk di atas sajadahnya karena merasa masih nyaman dengan mukenanya. Saya langsung bertanya-tanya, bagaimana penulis yang merupakan seorang laki-laki dan dituduh komunis bisa mengetahui kalau perasaan sesudah shalat dan masih memakai mukena memang senyaman dan sedamai itu?
Ending novel Gadis Pantai pun menyedihkan. Dia dinikahkan dengan suaminya yang priyayi itu ternyata hanya untuk menjadi istri 'percobaan'. Dia diceraikan ketika anaknya masih bayi dan lebih parah lagi, dia tidak bisa membawa pergi bayinya. Selanjutnya suaminya akan mencari istri 'serius'-nya dari golongan yang setara juga. Rasanya sungguh tidak adil dan menyesakkan.
Dari novel-novel yang saya baca itu, endingnya memang tidak ada yang menyenangkan. Tapi, begitulah mungkin pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Dalam hidup, kita memang tidak hanya mendapatkan hal yang menyenangkan saja, tapi juga harus menghadapi cobaan dan ujian. Walaupun begitu, hidup harus terus berjalan dan kita harus menjalaninya dengan tegar.
Menurut teman saya, sebenarnya novel Gadis Pantai pun ada kelanjutannya dan merupakan buku trilogi. Tetapi dua buku kelanjutannya dihanguskan oleh pemerintah Orde Baru. Sayang sekali, padahal saya penasaran dengan kelanjutan cerita si gadis pantai.
Buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer sarat dengan fakta sejarah, nilai-nilai kemanusiaan, dan kritik terhadap ketidakadilan sosial. Sumbernya diambil dari pengalaman pribadi maupun orang lain yang membuat cerita di buku-bukunya terasa nyata.
KKN beberapa tahun lalu itu sangat berkesan bagi saya. Selain karena saya menjalani hari-hari yang indah di desa, saya pun berkenalan dengan buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer. Saya selesai membaca lima bukunya di masa KKN tersebut dan masih merasa terkesan sampai hari ini.
Meskipun kini telah tiada, Pramoedya Ananta Toer akan selalu dikenang melalui karya-karyanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI