Mohon tunggu...
Rahma SyahrulKhoiriyah
Rahma SyahrulKhoiriyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya suka membaca buku terutama novel dengan genre islami.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Negara dan Kontrol Informasi Masa Orde Baru

21 Desember 2024   22:38 Diperbarui: 21 Desember 2024   22:40 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masa pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto, dimulai pada tahun 1966 di tengah kondisi negara yang dilanda berbagai permasalahan pelik. Indonesia saat itu berada dalam situasi yang sangat genting, ditandai dengan krisis ekonomi yang parah, polarisasi politik yang tajam, serta gejolak sosial yang merupakan dampak dari pemerintahan sebelumnya. Kondisi ini menciptakan ketidakstabilan di hampir seluruh sendi kehidupan bebangsa dan bernegara.

 

Di tengah situasi yang demikian kompleks, tampilnya Soeharto sebagai pemimpin baru membawa secercah harapan bagi Sebagian besar masyarakat. Pergantian kepemimpinan ini tidak hanya sekadar perubahan figure di pucuk kekuasaan, tetapi juga dimaknasi sebagai momentum untuk melakukan perubahan mendasar di berbagai bidang. Antusiasme terhadap hadirnya Orde Baru terlihat jelas di berbagai lapisan masyarakat, termasuk pers. 

 

Hadirnya rezim Orde Baru disambut degan optimisme oleh kalangan pers. Mereka memiliki harapan besar agar nantinya pemerintahan baru ini akan membawa angin segar bagi kebebasan pers dan memberikan ruang yang lebih luas bagi media untuk menjalankan perannya sebagai pilar demokrasi. Harapan ini didasari keyakinan bahwa pemerintahan yang dipimpin Soeharto akan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa dan membawa Indonesia menuju era baru yang lebih baik, di mana kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk melalui media massa dapat dijamin. Dengan kata lain, perubahan kepemimpinan ini dilihat sebagai peluang untuk membangun kembali tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis dan berkeadilan.

 

Kepemimpinan Presiden Soeharto di awal era Orde Baru ditandai dengan upaya sistematis untuk menata kembali struktur dan orientasi pemerintahan. Proses ini berlangsung antara tahun 1966 hingga 1974, difokuskan pada konsolidasi ideologi kepemimpinan yang baru dan penyelesaian berbagai permasalahan yang diwariskan dari periode sebelumnya. Salah satu langkah penting dalam proses konsolidasi ini adalah penataan aliansi di dalam tubuh pemerintahan.

 

Penataan aliansi ini bukan sekedar pergantian personel di posisi-posisi strategis, melainkan sebuah strategi yang dirancang untuk membangun citra dan legitimasi kekuasaan Soeharto. Tujuannya adalah untuk mengkomunikasikan kepada publik, baik di dalam maupun di luar negeri, bahwa Soeharto tampil sebagai kekuatan politik yang mandiri dan solid. Hal ini penting untuk membedakan dirinya dari konteks sebelumnya, dimana ia lebih dikenal sebagai bagian dari kekuatan militer. Dengan kata lain, Soeharto berupaya melepaskan diri dari bayang-bayang militer dan membangun basis kekuasaan sipil yang kuat dan terorganisir. 

 

Selain upaya konsolidasi kekuasaan di internal pemerintahan, rezim Orde Baru juga secara bersamaan melaksanakan program pembangunan yang diiringi dengan penanaman ideologi khas mereka. Pemerintah mulai gencar melakukan propaganda yang menekankan nilai-nilai modernisasi dan pengembangan ideologi pembangunan. Dalam konteks ini, salah satu tokoh intelektual yang memiliki kedekatan dengan Presiden Soeharto, yaitu Mayor Jenderal Ali Moertopo, memainkan peran penting dalam menyebar luaskan pemahaman mengenai konsep pembangunan nasional versi Orde Baru.

 

Upaya penanaman ideologi ini tidak terpisah dari agenda pembangunan yang dijalankan. Pembangunan dipandang bukan hanya sebagai proses fisik semata, melainkan juga sebagai transformasi sosial dan budaya yang diarahkan oleh nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai modernisasi seperti efisiensi, rasionalitas, dan orientasi pada kemajuan didorong sebagai landasan bagi pembangunan nasional. Sementara itu, ideologi pembangunan yang diusung oleh Orde Baru pada stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pembangunan yang kemudian dikenal dengan Trilogi Pembangunan. 

 

Upaya pembenahan yang dilakukan Orde Baru juga menyentuh ranah politik luar negeri, dengan mengusung prinsip bebas aktif. Pada masa Demokrasi Terpimpin dibawah kepemimpinan Soekarno (Orde Lama), arah politik luar negeri Indonesia cenderung condong ke blok komunis. Hal ini menimbulkan persepsi dan impikasi tertentu dalam hubungan internasional Indonesia. Oleh karena itu, di awal masa kekuasaannya, Orde Baru berupaya keras untuk mengubah citra tersebut melalui serangkaian pembenahan di bidang politik luar negeri. Salah satu langkah penting yang diambil adalah Keputusan untuk kembali bergabung menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

 

Kendati Orde Baru membawa perubahan signifikan dalam bidang ekonomi dan pembangunan, sayangnya dalam ranah sistem pemerintahan dan politik, rezim ini tidak menunjukkan adanya pelonggaran kekuasaan pusat. Alih-alih desentralisasi, prioritas utama pemerintahan Soeharto justru terfokus pada penguatan control pemerintah pusat terhadap birokrasi dan militer yang sebelumnya terfragmentasi dan terpolitisasi. Upaya ini diwujudkan melalui sentralisasi hubungan antara pemerintah pusat atas daerah menjadi sangat kuat dan sentralistik. 

 

Pendekatan sentralistik ini didasari oleh keyakinan Orde Baru bahwa stabilitas politik dan keamanan merupakan prasyarat mutlak bagi keberhasilan pembangunan ekonomi. Pemerintah pusat merasa perlu memegang kendali penuh atas seluruh wilayah Indonesia untuk mencegah potensi disintegrasi dan konflik yang dapat mengganggu stabilitas tersebut. Namun, di sisi lain sentralisasi ini juga memunculkan ktirik terkait kurangnya pertisipasi daerah dalam pembangunan dan potensi terjadinya ketidakadilan dalam alokasi sumber daya.

 

Dalam upaya menciptakan dan menyebarluaskan propaganda, Soeharto beserta pemerintahan Orde Baru secara sistematis memanfaatkan berbagai media yang tersedia. Penguasaan dan dominasi Orde Baru atas berbagai media massa semakin memperkuat arus propaganda yang menyebar ke tengah masyarakat, menjadikannya sulit untuk dibendung. Baik media cetak maupun elektronik, termasuk televisi yang saat itu mulai menjangkau khalayak luas, seakan tak berdaya menolak untuk menjadi corong pemerintah Orde Baru dalam menyebarkan berbagai agenda propagandanya.

 

Kondisi ini menciptakan sebuah lanskap media yang sangat terkontrol dan terpusat. Informasi yang beredar di masyarakat disaring dan dibentuk sedemikian rupa sehingga mendukung narasi dan kepentingan rezim. Kritik dan pandangan alternatif terhadap pemerintah ditekan dan disingkirkan dari ruang publik. Media massa berfungsi sebagai alat legitimasi kekuasaan, bukan sebagai wahana untuk menyampaikan informasi yang berimbang dan beragam.

 

Pada periode antara tahun 1966 hingga 1980, berbagai slogan yang sarat dengan propaganda Orde Baru tersebar luas di berbagai media. Isu tentang pentingnya menjaga stabilitas nasional demi kelancaran pembangunan nasional dijadikan alasan utama penyebaran slogan-slogan propaganda tersebut. Namun, tujuan sebenarnya melampaui sekadar stabilitas dan pembangunan. Pemerintah Orde Baru berupaya membentuk negara yang aman dengan masyarakat yang patuh terhadap penguasa. Singkatnya, slogan-slogan propaganda yang bertebaran tersebut digunakan untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan yang lebih kuat bagi Orde Baru.

Sasaran utama dari penyebaran slogan-slogan propaganda tersebut tentu saja adalah masyarakat luas. Sebagian besar slogan yang beredar di media massa pada masa itu merupakan propaganda yang berkaitan erat dengan isu integrasi nasional dan kontrol sosial politik. Fokus pada kedua aspek ini, integrasi dan kontrol, menjelaskan mengapa Orde Baru sangat ketat dalam merumuskan dan menerapkan kebijakan yang mengatur media massa. Sehingga diterbitkan berbagai peraturan yang dapat mengatur berita yang dimuat di media massa seperti UU Pokok Pers dan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers atau SIUPP.  

Referensi:

Yusa’ Farchan, (2022) Dinamika Sistem Politik Otoritarianisme Orde Baru, Jurnal Adhikari, Volume 1 (3), hlm. 152-161.

Rizki Rahmawati, (2022) REPELITA: Sejarah Pembangunan Nasional di Era Orde Baru, ETNOHISTORI: Jurnal Ilmiah Kebudayaan dan Kesejarahan, Volume 9 (2), hlm. 36-42.

Dwi Wahyono H, & Gayung Kasuma, (2012) Propaganda Orde Baru 1966-1980, Verleden, Volume 1 (1), hlm. 1-109.

Lutfi Wahyudi, (2005) Demokrasi Orde Baru: Sebuah Catatan Bagi Masa Depan Demokrasi di Indonesia, Jurnal Sosial-Politika, Volume 6 (11), hlm. 23-38.

Amalia Rusti M.D., (2021) Pers dan Pemberitaan Sosial-Politi Orde Baru Dalam Sorotan Harian Sinar Harapan 1966-1986, Journal of Indonesian History, Volume 10 (1) hlm. 24-32

Siti M., & Joko S., (1999) Pembungkaman Pers Masa Orde Baru (Refleksi Filosofis atas Kebebasan Pers Indonesia Masa Orde Baru), Jurnal Filsafat, Seri ke-29, hlm. 57-65.

Adelia Fransiska, dkk., (2023) Rahasia Terungkap: Menganalisis Dinamika Keamanan Pers Pada Masa Orde Baru (1966-1998), Al-Ulum Ilmu Sosial dan Humaniora, Volume 9 (2), hlm. 69-82.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun