Mohon tunggu...
Rahayu Damanik
Rahayu Damanik Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu Rumah Tangga

Best in Specific Interest Kompasianival 2016

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Agustinus Tegekigiba Kadepa: “Mutiara Hitam” yang Memperjuangkan Pendidikan Gratis di Tanah Papua

28 Januari 2016   16:20 Diperbarui: 28 Januari 2016   16:55 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Agus dan anak-anak GPM Belajar di Alam"][/caption]Ada pendapat kalau generasi muda sekarang sangat apatis. Bersikap masa bodo terhadap lingkungan atau masyarakat di sekitarnya. Bila suatu hal tidak membawa keuntungan bagi dirinya sendiri maka generasi muda tidak mau ambil pusing. Adalah pemandangan aneh bila seorang muda yang baru saja diwisuda kemudian menolak tawaran pekerjaan bagus dari seorang kepala dinas pendidikan dengan alasan ingin memperjuangkan pendidikan gratis di tanah Papua. Dialah seorang yang memiliki jiwa sosial tinggi.

Syukurlah saya berhasil mewawancarai pria bernama Agustinus Tegekigiba Kadepa (Agus) yang merupakan alumni Universitas Cendrawasih Fakultas Keguruan Jurusan Bimbingan dan Konseling. Agus merupakan putra Papua asli yang cerdas dan bersemangat memperjuangkan pendidikan gratis melalui Gerakan Papua Mengajar (GPM). Pria yang mengaku bangga disebut sebagai "mutiara hitam” ini lahir pada tanggal 3 Agustus 1990 (usia 25 tahun).

Penulis menanyakan bagaimana latar belakang berdirinya GPM ini dan apa yang memotivasi Agus sehingga mau bercapek-capek untuk mengerjakan sesuatu yang tidak membawa keuntungan pribadi. Agus bersama seorang rekan bernama Yohana Pulalo adalah penggagas dari GPM. Dua anak muda ini memikirkan bagaimana cara berkontribusi bagi perkembangan masyarakat Papua. Apa yang bisa mereka lakukan demi memberi kemajuan yang berarti bagi masyarakat Papua khususnya?

[caption caption="Belajar Menyenangkan di Alam Bebas"]

[/caption]Mereka tidak ingin “hanya” aktif dalam demonstrasi mahasiswa namun ingin memberikan suatu tindakan nyata yang manfaatnya bisa langsung dirasakan masyarakat dan berpotensi memajukan masyarakat Papua. Agus dan Yohana ingin mengangkat derajat “mutiara hitam” agar bisa menikmati hasil kemerdekaan. Agus dan Yohana menyadari belum ada suatu kemajuan signifikan yang dialami masyarakat Papua. Inilah sebabnya Agus dan Yohana berusaha mencari tahu apa kebutuhan masyarakat Papua sehingga bisa diperjuangkan oleh mereka.

[caption caption="Belajar Merangkai Huruf"]

[/caption]Keinginan kuat untuk mengetahui kebutuhan masyarakat Papua, mendorong Agus dan Yohana mewawancarai ibu-ibu pedagang yang berjualan setiap Senin sampai Sabtu pukul 07.00 - 21.00 di  pasar Waena Jayapura. Saat itu, Bulan Februari 2013 Yohana dan Agus mendapat cerita pilu dari ibu pedagang di pasar tersebut. Ibu-ibu bercerita kalau anak-anak mereka banyak yang belum bisa membaca dan menulis padahal sudah bersekolah. Anak-anak bahkan kadang sekolah kadang tidak karena ada yang terpaksa membantu orang tua berjualan dan sebagian anak lebih suka bermain dari pagi hingga sore. Orang tua tidak berdaya mengawasi mereka bermain di rumah karena sibuk mencari nafkah. Para ibu-ibu ini juga tidak bisa membantu anak-anak yang masih buta huruf itu belajar karena para ibu-ibu tadi juga adalah seorang yang tidak berpendidikan. Betapa terenyuh hati Agus dan Yohana mendengar penuturan ibu-ibu pedagang tersebut.

[caption caption="Belajar di Bawah Pohon"]

[/caption]Yohana dan Agus memang melihat sendiri kalau banyak anak-anak yang bermain tanpa pengawasan orang tua. Sehingga muncul inisiatif untuk mengajak anak yang bermain seharian tadi untuk belajar sambil bermain. Anak-anak diajak belajar bersama di alam terbuka karena memang tidak ada ruangan belajar. Saat mengajak anak-anak belajar, Yohana dan Agus semakin meyakini betapa berharga kegiatan belajar bersama gratis yang mereka adakan karena anak-anak ternyata meskipun sudah kelas tiga SD masih buta huruf dan banyak sekali yang belum bisa membaca, menulis, dan berhitung. Penulis menyampaikan kalau saat ini di lingkungan penulis di Jakarta dan Tangerang, anak-anak kelas satu SD sudah lancar membaca. Bagaimana mungkin anak kelas tiga di Jayapura belum lancar membaca? Agus menjelaskan kemungkinan besar ada tiga hal yang mendasarinya:

1. Lingkungan tidak menciptakan anak-anak Papua untuk rajin belajar. Anak-anak cenderung “dibiarkan” bermain bebas seharian tanpa pengawasan orang tua.

2. Orang tua di Papua banyak yang tidak berpendidikan sehingga tidak mampu mengajari anak-anak mereka. Berbeda dengan lingkungan penulis yang orang tua anak-anaknya banyak yang Sarjana, Master, bahkan Doktor.

3. Guru-guru di Papua hanya mengajar beberapa jam dan sering kali terjebak ingin mengejar kurikulum tanpa mau mengevaluasi apakah siswanya sudah menangkap pelajaran atau belum.

[caption caption="GPM dikenal di Media Papua"]

[/caption]Agus dan Yohana sadar di tengah-tengah kesibukan Agus yang tahun 2013 masih berstatus mahasiswa dan Yohana (PNS) tidak mungkin bisa maksimal mengajar semua anak-anak buta huruf yang demikian banyaknya. Itulah sebabnya Agus dan Yohana ingin mengajak relawan lain bersama-sama bergerak menyelamatkan generasi Papua. Akhirnya mereka membuka ruang diskusi di media sosial mengenai kondisi lapangan yang memprihatinkan tersebut. Diskusi itu mendapat respon yang sangat baik  dari para relawan.

[caption caption="Tempat Belajar yang Dibangun dari Hasil Pencarian Dana GPM"]

[/caption]Akhirnya Februari 2013 berdirilah GPM dalam bentuk Lembaga Gerakan Papua Mengajar (GPM). GPM terdiri dari beberapa relawan muda dengan berbagai latar belakang: Mahasiswa (Theresia Tekege, Arnold Belau, Agustinus Kadepa), Jurnalis (Alfonsa Wayap), pegawai pemerintah (Yohana Pulalo), dan pegiat LSM (Andi Tagihuma). Mereka semua adalah generasi muda Papua yang peduli pada dunia pendidikan khususnya di tanah Papua. Menurut Agus, GPM dibuat dalam bentuk badan hukum sebagai komitmen semua relawan pendiri GPM untuk terus secara berkesinambungan menyelenggarakan pendidikan berkualitas dan gratis bagi masyarakat Papua.

[caption caption="Salah Satu Cara Mencari Dana dengan Menjual Makanan Khas Papua"]

[/caption]Agus dan rekan-rekan di GPM sepakat mengangkat “mutiara hitam” dari kemiskinan dan kebodohan melalui pendidikan yang berkualitas dan gratis. Agus dan kawan-kawan GPM menyadari Papua sulit maju karena SDM yang sangat rendah akibat kurang berkualitasnya pendidikan. Mereka menyadari setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan gratis dan berkualitas. Namun, Agus tidak ingin wacana indah tersebut hanya menjadi teori belaka. Agus ingin  mewujudkannya karena kekayaan tanah Papua sulit dinikmati apabila masyarakatnya tidak berpendidikan. Meskipun Papua kaya, pasti masyarakatnya mudah ditipu dan dimanfaatkan oleh mereka yang berpengetahuan.

Saat ini, GPM masih berada di Kota Jayapura dengan 2 kelompok belajar.

1. Kelompok Belajar Buper (32 siswa). Beralamat di kompleks masyarakat Dani di Jalan Buper, Distrik Heram. Belajar setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat Pukul 15.30- 17.30.

2. Kelompok Belajar Bukit Kebai, Kotaraja (18 siswa). Beralamat di Jalan Woroth, perumahan Dosen Uncen-Kotaraja. Belajar setiap Selasa, Kamis, dan Sabtu Pukul 15.30-17.30. Nama Pengajar adalah Yohana Pulalo, Agustinus kadepa, Andi Tanggihuma, Orgenes Ukago, Alfonsa Wayap, Henky Yeimo.

Adapun materi yang diajarkan relawan GPM berupa pengetahuan dasar seperti membaca, menulis, berhitung. Selain itu ada pendidikan karakter melalui cerita rakyat masyarakat Papua, seni, budaya, hewan, tumbuhan, adat istiadat suku Papua, dan sejarah Bangsa Indonesia. Bukan hanya pendidikan dasar dan karakter yang diajarkan ke anak-anak Papua. Anak yang sudah bisa membaca dan berhitung dengan lancar setiap selesai belajar bersama pasti pulang dengan membawa buku bacaan. Anak-anak diberi tugas melakukan review buku di rumah dan kemudian didiskusikan bersama di pertemuan berikutnya. Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan kecintaan anak-anak Papua terhadap buku.

[caption caption="Belajar Tidak Hanya di Kelas"]

[/caption]Penulis menyampaikan apa yang dilakukan oleh Agus dan kawan-kawan hampir mirip seperti sebuah bimbingan belajar. Tidakkah Agus dan kawan-kawan berencana membuat lembaga bimbingan belajar berbayar saja? Agus dan kawan-kawan tidak akan pernah mengubah GPM menjadi lembaga yang berbayar. Selama ini Agus mengalami bahwa rejeki pribadi dari pekerjaan yang dia geluti sendiri justru semakin lancar saat dia menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama. Entah bagaimana bisa seperti itu tetapi Tuhan tidak pernah menutup mata bagi mereka yang membuka hati pada sesama. Kualitas pendidikan di Papua memang belum memadai sehingga sampai kapan pun Agus dan kawan-kawan akan membantu sekolah formal meningkatkan kualitas siswanya dengan cara memberikan pendidikan di luar sekolah secara gratis. Selain itu, GPM membantu peranan orang tua yang sibuk tadi sehingga ada yang mengajarkan anak-anak pendidikan karakter. Sebuah tugas yang seharusnya diberikan oleh orang tua dan sekolah.

[caption caption="Serius Berhitung"]

[/caption]Agus mengatakan pendidikan dasar yang diterapkan di dalam GPM bukan hanya sekedar belajar membaca dan berhitung biasa. Agus dan GPM membantu anak dalam penerapan logika matematika dengan bantuan alam. Misalkan anak bersama pengajar mencari berbagai jenis daunan kemudian belajar Matematika dengan cara mengelompokkan daun-daunan tersebut. Selain itu, dengan menggunakan batu, ranting kayu, dan rumput anak-anak diajarkan merangkai huruf dan berhitung. Bisa juga merangkai kata dengan menggunakan huruf-huruf dari karton. Agus percaya anak-anak akan lebih mudah paham bila langsung belajar dari alam. Bukan seperti di sekolah formal yang mengajar anak-anak Papua mengenai sawah atau kereta api yang sama sekali belum pernah mereka lihat langsung ada di Papua. Agus percaya anak-anak harus diajarkan secara kreatif dan hendaknya janganlah ruangan kelas membatasi pikiran siswa sehingga imajinasi mereka tidak bisa berkembang dengan maksimal. Menurut Agus manfaat sekolah tidak akan optimal bagi anak Papua bila guru hanya mengejar kurikulum tanpa peduli apakah siswa bisa mengikuti pelajaran dengan baik atau tidak.

[caption caption="Mencari Inspirasi Lukisan dari Alam Sekitar"]

[/caption]Agus dan kawan-kawan di GPM menyadari pentingnya anak-anak belajar pendidikan karakter supaya kelak setelah anak-anak dewasa bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Agus berharap seharusnya pendidikan formal bisa membentuk pendidikan karakter bagi para siswanya sehingga menjadi pribadi yang bukan hanya pintar tetapi berbudi pekerti yang luhur dan bersopan santun.

Bagaimana cara Agus dan kawan-kawan GPM mengajarkan pendidikan karakter bagi siswa-siswa GPM? Cara yang mereka tempuh sungguh kreatif misalkan bercerita mengenai buaya sakti di Kali Tami yang merupakan cerita rakyat Keerom. Anak-anak suka mendengarkan cerita dan mendapat pesan moralnya supaya anak turut menjaga kelestarian hewan yang dilindungi dan jangan menjadi pribadi yang sembarangan membunuh hewan di Papua. Agus dan kawan-kawan GPM juga mengajarkan pentingnya bermain sehingga anak-anak meskipun sepulang sekolah diajak GPM belajar bersama bukan berarti GPM tidak menyadari arti pentingnya bermain. Anak-anak yang sudah bisa menjawab pertanyaan dari para relawan pengajar diperbolehkan bermain. Namun permainan tradisional yang mendidik seperti permainan karet yang merupakan permainan anak di Papua. Agus mengatakan kalau kebahagiaan tidak dapat dinilai dengan uang karena Agus akan sangat bahagia dan merasa puas saat pengabdiannnya berhasil. Dia bahagia bila anak-anak GPM menjadi lancar membaca, berhitung, serta berperilaku yang lebih baik.

[caption caption="Agus diwawancarai TV Papua"]

[/caption]Penulis menanyakan darimana Agus dan GPM mendapatkan dana untuk mendukung kegiatan sosial mereka? Agus menjawab kalau dia dan teman-teman GPM tidak mengikuti jalur yang biasa dilakukan oleh relawan sosial di Papua. Menurutnya, banyak gerakan sosial di Papua yang berlomba-lomba mengajukan proposal kepada pemerintah Provinsi karena Papua dikenal sebagai daerah yang mendapatkan dana otonomi khusus (otsus) cukup tinggi. Tanpa bermaksud merendahkan masyarakat yang mengajukan proposal, Agus percaya kalau keberhasilan ditempuh dengan kerja keras. Agus dan teman-teman tidak ingin disebut bermental proposal. Sehingga mereka berusaha mencari dana dengan caranya sendiri seperti menjual buku, baju kaos, atau melakukan bazar makanan khas Papua (Keladi tumbuk, Sayur jantung pisang dicampur bunga papaya, Ikan ekor kuning, dan lain sebagainya).

Lalu keberhasilan apa yang sudah diraih GPM selama hampir tiga tahun GPM didirikan? Agus mengatakan ada keberhasilan yang sungguh membuatnya terharu. Misalkan anak-anak yang dulunya sangat suka mengucapkan kata-kata kotor baik kepada temannya atau orang yang lebih dewasa darinya kini berubah karena sudah bisa berkata-kata dengan santun. Anak-anak kelas tiga yang dulunya belum bisa membaca sama sekali, kini sudah lancar membaca dan menulis. Ada siswa mereka yang duduk di kelas 5 dulunya tidak pernah juara, kini mendapat ranking satu di sekolahnya. Bahkan siswa kelas dua dan tiga yang mereka didik di GPM sudah bisa membaca dan menulis dengan lancar. Seorang anak kelas dua SD tidak mau sekolah karena merasa dirinya tidak sepintar teman-teman di sekolah. Kini, setelah bergabung dengan GPM, dia sangat lancar dalam hitung-menghitung bahkan bisa fasih mengalikan puluhan dengan satuan. Pembagian angka satuan dengan satuan juga lancar padahal baru SD kelas dua.

[caption caption="Belajar di Pohon "]

[/caption]Ada anak yang tidak diperbolehkan mendaftar di sekolah karena tidak memiliki akte kelahiran. Agus bahagia karena bisa merangkul mereka di GPM. Agus merasa sungguh sedih mengapa hanya karena tidak memiliki akte kelahiran, hak seorang untuk mendapat pendidikan harus terbengkalai. Padahal jelas anak-anak Papua banyak dari pedalaman yang terisolasi dan tidak mengenal yang namanya akte kelahiran. Inilah yang semakin memperteguh keyakinan seorang Agus untuk menjadi guru di seluruh tanah Papua. Agus ingin semua anak bisa belajar tidak hanya di sekolah, namun sambil bermain di alam terbuka.

Agus ingin GPM lebih mengembangkan metode belajar tersendiri yang kreatif dan menyenangkan, namun tidak keluar dari kurikulum sekolah formal. Agus percaya generasi Papua yang cerdas jangan egois hanya ingin menuntut ilmu tetapi harus rela dan bersedia berbagi pengetahuan. Agus dan relawan GPM berjuang sampai tetes darah penghabisan agar manfaat GPM bisa dirasakan generasi muda di seluruh tanah Papua, inilah visi yang terus membuat darahnya mengalir deras mengobarkan api semangat yang tidak akan padam.

Ada satu pengalaman yang mengharukan ketika ada seorang siswa yang baru pertama belajar di GPM tetapi sudah merasa dekat dengan relawan pengajar. Anak tersebut berkata, “Kaka, kenapa Kaka baru kenal kami tapi sudah akrab sekali?” Sang pengajar pun menjawab, “Adik tahu ka tra, kita akrab karena kita anak Papua. Saya anak Papua, Kamu anak Papua. Kita semua anak Papua”

Saya terharu mendengar kisah tersebut. Seandainya semua putra daerah mau membangun kampung halaman masing-masing maka bangsa Indonesia semua akan maju. Ibarat sebuah filosofi orang Batak yang populer: Marsipature Hutanabe artinya mari putra daerah yang sukses di perantauan, pulang ke kampung halaman masing-masing untuk membangun daerah yang dulu ditinggalkan. Memang semboyan ini berhasil memotivasi perantauan untuk membangun kampung halamannya, namun sayang tidak segelintir yang kembali pulang hanya untuk menguras habis kekayaan alamnya. Sungguh putra-putri daerah lain harus berkaca kepada seorang Agustinus Tegekigiba Kadepa yang adalah seorang teladan muda yang mau peduli dan membangun kampung halamannya demi kemajuan generasi bangsa Indonesia.

 

Salam

Rahayu Damanik

 

Sumber Gambar: Dokpri Agustinus Tegekigiba Kadepa dan GPM

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun