[caption caption="Agus dan anak-anak GPM Belajar di Alam"][/caption]Ada pendapat kalau generasi muda sekarang sangat apatis. Bersikap masa bodo terhadap lingkungan atau masyarakat di sekitarnya. Bila suatu hal tidak membawa keuntungan bagi dirinya sendiri maka generasi muda tidak mau ambil pusing. Adalah pemandangan aneh bila seorang muda yang baru saja diwisuda kemudian menolak tawaran pekerjaan bagus dari seorang kepala dinas pendidikan dengan alasan ingin memperjuangkan pendidikan gratis di tanah Papua. Dialah seorang yang memiliki jiwa sosial tinggi.
Syukurlah saya berhasil mewawancarai pria bernama Agustinus Tegekigiba Kadepa (Agus) yang merupakan alumni Universitas Cendrawasih Fakultas Keguruan Jurusan Bimbingan dan Konseling. Agus merupakan putra Papua asli yang cerdas dan bersemangat memperjuangkan pendidikan gratis melalui Gerakan Papua Mengajar (GPM). Pria yang mengaku bangga disebut sebagai "mutiara hitam” ini lahir pada tanggal 3 Agustus 1990 (usia 25 tahun).
Penulis menanyakan bagaimana latar belakang berdirinya GPM ini dan apa yang memotivasi Agus sehingga mau bercapek-capek untuk mengerjakan sesuatu yang tidak membawa keuntungan pribadi. Agus bersama seorang rekan bernama Yohana Pulalo adalah penggagas dari GPM. Dua anak muda ini memikirkan bagaimana cara berkontribusi bagi perkembangan masyarakat Papua. Apa yang bisa mereka lakukan demi memberi kemajuan yang berarti bagi masyarakat Papua khususnya?
[caption caption="Belajar Menyenangkan di Alam Bebas"]
[/caption]Mereka tidak ingin “hanya” aktif dalam demonstrasi mahasiswa namun ingin memberikan suatu tindakan nyata yang manfaatnya bisa langsung dirasakan masyarakat dan berpotensi memajukan masyarakat Papua. Agus dan Yohana ingin mengangkat derajat “mutiara hitam” agar bisa menikmati hasil kemerdekaan. Agus dan Yohana menyadari belum ada suatu kemajuan signifikan yang dialami masyarakat Papua. Inilah sebabnya Agus dan Yohana berusaha mencari tahu apa kebutuhan masyarakat Papua sehingga bisa diperjuangkan oleh mereka.
[caption caption="Belajar Merangkai Huruf"]
[/caption]Keinginan kuat untuk mengetahui kebutuhan masyarakat Papua, mendorong Agus dan Yohana mewawancarai ibu-ibu pedagang yang berjualan setiap Senin sampai Sabtu pukul 07.00 - 21.00 di pasar Waena Jayapura. Saat itu, Bulan Februari 2013 Yohana dan Agus mendapat cerita pilu dari ibu pedagang di pasar tersebut. Ibu-ibu bercerita kalau anak-anak mereka banyak yang belum bisa membaca dan menulis padahal sudah bersekolah. Anak-anak bahkan kadang sekolah kadang tidak karena ada yang terpaksa membantu orang tua berjualan dan sebagian anak lebih suka bermain dari pagi hingga sore. Orang tua tidak berdaya mengawasi mereka bermain di rumah karena sibuk mencari nafkah. Para ibu-ibu ini juga tidak bisa membantu anak-anak yang masih buta huruf itu belajar karena para ibu-ibu tadi juga adalah seorang yang tidak berpendidikan. Betapa terenyuh hati Agus dan Yohana mendengar penuturan ibu-ibu pedagang tersebut.
[caption caption="Belajar di Bawah Pohon"]
[/caption]Yohana dan Agus memang melihat sendiri kalau banyak anak-anak yang bermain tanpa pengawasan orang tua. Sehingga muncul inisiatif untuk mengajak anak yang bermain seharian tadi untuk belajar sambil bermain. Anak-anak diajak belajar bersama di alam terbuka karena memang tidak ada ruangan belajar. Saat mengajak anak-anak belajar, Yohana dan Agus semakin meyakini betapa berharga kegiatan belajar bersama gratis yang mereka adakan karena anak-anak ternyata meskipun sudah kelas tiga SD masih buta huruf dan banyak sekali yang belum bisa membaca, menulis, dan berhitung. Penulis menyampaikan kalau saat ini di lingkungan penulis di Jakarta dan Tangerang, anak-anak kelas satu SD sudah lancar membaca. Bagaimana mungkin anak kelas tiga di Jayapura belum lancar membaca? Agus menjelaskan kemungkinan besar ada tiga hal yang mendasarinya:
1. Lingkungan tidak menciptakan anak-anak Papua untuk rajin belajar. Anak-anak cenderung “dibiarkan” bermain bebas seharian tanpa pengawasan orang tua.
2. Orang tua di Papua banyak yang tidak berpendidikan sehingga tidak mampu mengajari anak-anak mereka. Berbeda dengan lingkungan penulis yang orang tua anak-anaknya banyak yang Sarjana, Master, bahkan Doktor.
3. Guru-guru di Papua hanya mengajar beberapa jam dan sering kali terjebak ingin mengejar kurikulum tanpa mau mengevaluasi apakah siswanya sudah menangkap pelajaran atau belum.
[caption caption="GPM dikenal di Media Papua"]
[/caption]Agus dan Yohana sadar di tengah-tengah kesibukan Agus yang tahun 2013 masih berstatus mahasiswa dan Yohana (PNS) tidak mungkin bisa maksimal mengajar semua anak-anak buta huruf yang demikian banyaknya. Itulah sebabnya Agus dan Yohana ingin mengajak relawan lain bersama-sama bergerak menyelamatkan generasi Papua. Akhirnya mereka membuka ruang diskusi di media sosial mengenai kondisi lapangan yang memprihatinkan tersebut. Diskusi itu mendapat respon yang sangat baik dari para relawan.
[caption caption="Tempat Belajar yang Dibangun dari Hasil Pencarian Dana GPM"]
[/caption]Akhirnya Februari 2013 berdirilah GPM dalam bentuk Lembaga Gerakan Papua Mengajar (GPM). GPM terdiri dari beberapa relawan muda dengan berbagai latar belakang: Mahasiswa (Theresia Tekege, Arnold Belau, Agustinus Kadepa), Jurnalis (Alfonsa Wayap), pegawai pemerintah (Yohana Pulalo), dan pegiat LSM (Andi Tagihuma). Mereka semua adalah generasi muda Papua yang peduli pada dunia pendidikan khususnya di tanah Papua. Menurut Agus, GPM dibuat dalam bentuk badan hukum sebagai komitmen semua relawan pendiri GPM untuk terus secara berkesinambungan menyelenggarakan pendidikan berkualitas dan gratis bagi masyarakat Papua.
Lihat Lyfe Selengkapnya