Deng Xioping (1904-1997) “tak penting kucing itu berwarna putih atau hitam, yang penting bisa menangkap tikus”
Tak peduli jika pemerintahan Jokowi-JK dibubarkan terpenting bisa “menghajar” ormas-ormas , LSM berbaju keagamaan yang bersandar pada isu sekterian dan radikalisme dengan membangkitkan isu PKI.
Begitulah, penalaran saya atas salah satu pokok pernyataan dari salah satu paragraph opini Asaaro Lahagu di artikel Ketika Jokowi ‘Gila’ dan Ahok ‘Bajingan’, Skenario Singapura atas Indonesia Gagal.Untuk lebih lengkapnya saya kutip sebagai berikut :
Para agen-agen intelijen Singapura terus sibuk berpikir dan sibuk mengeluarkan dana besar untuk membeli pejabat-pejabat yang bisa dibeli supaya melemahkan pemerintahan yang ada. Mereka juga mempunyai koneksi LSM-LSM lapar di Indonesia yang bisa berteriak keras yang terus menyerang pemerintahannya. Singapura berani untuk melemahkan Indonesia karena negara kecil ini dibekingi oleh sekutunya Amerika dan Inggris. Singapura pun belajar dari Israel di Timur-Tengah yang mampu mendikte negara-negara tentangganya.
Caranya, Indonesia terus diganggu dengan menghidupkan isu-isu sektarian, teroris dan radikalisme melalui dana-dana yang disalurkan di berbagai LSM dan ormas-ormas. Singapura bekerja sama dengan Barat akan terus berupaya agar Indonesia terus ribut, berantem, lemah dan kehabisan energi. Dengam begitu Indonesia sulit fokus memajukan perekonomiannya. Indonesia seperti sejarahnya pada masa lalu, sibuk berkelahi, bertengkar dan lupa membangun bangsanya.
Itulah sebabnya pemerintahan Jokowi terus melempar isu bangkitnya PKI. Itulah salah satu cara melawan isu-isu sektarian dan radikalisme yang mungkin ikut dilancarkan oleh bangsa lain. Padahal sebenarnya isu PKI itu hanya taktik pemerintah untuk menghajar ormas-ormas yang berbaju keagamaan. Selama ini pemerintah sulit membubarkan ormas-ormas atau berbagai organisasi itu karena mereka memakai agama sebagai tamengnya. Maka cara menghajarnya adalah melempar isu komunis kepada ormas-ormas itu sehingga pemerintah punya cara untuk menekuknya atas nama ideologi juga. Jika isu-isu sektarian itu berhasil dipadamkan pemerintahan Jokowi, maka pemerintah akan fokus membangun tanpa gangguan.
Meskipun, pernyataan tersebut berada di paragraph ketiga dari bawah (kutipan di atas). Namun pernyataan tentang pemerintahan Jokowi membangkitkan isu PKI berhubungan dengan paragraf sebelumnya. Satu kesatuan dari “konspirasi” Singapura dan Barat yang gencar mencari distabilitas Republik Indonesia.
Pertanyaannya benarkah Singapura dan Barat sebagai dalang distabilitas dan penyandang dana ormas dan LSM yang membawa isu sekterian, teroris dan radikalisme di Republik Indonesia ? Untuk menjawab hal tersebut saya tidak tahu, biarkan para ahli intelejen yang menjawabnya. Toh, Asaaro Lahagu menyatakan hal ini tentu bukan dari mimpi, tentu memegang sejumlah pembuktian. Namun, bagi saya yang cukup membuat saya terus bertanya adalah benarkah pemerintahan Jokowi-JK terus melempar isu bangkitnya PKI, dengan hanya bertujuan “menghajar” (entah apa maksudnya ?) ormas dan LSM berbaju keagamaan ?
Fakta atau tidaknya pernyataan tersebut hanya Asaaro Lahagu yang tau, dan tentu sekali lagi pernyataan tersebut bukan masalah jika didapat dari mimpi, Toh menuliskan opini pada prinsipnya bukan masalah antara fakta atau tidak, ibarat pengetahuan yang terkadang datang dari mimpi. Pastinya, Asaaro Lahagu memiliki sumber menyatakan hal ini. Buktinya saja Asaaro Lahagu mengetahui konstelasi internasional Singapura dan Barat terhadap Negara tercinta Indonesia.
Terlepas dari hal itu, tulisan ini bukan bermaksud menguji kebenaran pernyataan Asaaro Lahagu. Namun sekedar catatan sebagai pembaca setia tulisan Asaaro Lahagu yang hingga kini tulisan tersebut telah menembus lebih dari 345 ribu.
Membakar Lumbung Padi
Membangkitkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah mem.bang.kit.kan Verba (kata kerja)
- membangunkan (orang tidur);
- menghidupkan kembali: membangkitkan orang mati;
- mengangkat dan menaikkan: membangkitkan pedang ke udara;
- Berasal dari bahasa Minangkabau membangkit untuk; mengangkatkan (tentang jemuran, cerek, dan sebagainya)
Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan isu PKI yang sebelumnya tidur, mati mulai diangkat dan dinaikkan kembali oleh pemerintahan Jokowi. Kiranya berdasarkan hal ini saya mencoba menelusuri, aksi apa yang dilakukan oleh pemerintah untuk menaikkan isu PKI. Dalam penelusuran ini saya sulit untuk menemukan yang benar menaikkan isu PKI.
Mungkin beberapa aksi yang dianggap membangkitkan isu PKI seperti acara Simposium Nasional 1965 yang di yang difasilitasi oleh ring I istana yakni, Ketua Watimpres Sidarto Danusubroto, Agus Widjojo dan Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan. Namun, jika lebih jeli melihatnya acara ini sendiri dianggap oleh Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengaku telah membaca Term of Reference (TOR) acara tersebut. Ia menyimpulkan tak ada penegasan pengungkapan kebenaran atau tujuan yang strategis dalam pelaksanaan simposium. Untuk lebih jelasnya saya kutip tujuan dari simposium tersebut:
- Menempatkan tragedi 1965 secara jujur dan proporsional dalam kesejarahan bangsa Indonesia dengan melacak arti dan menimbang implikasinya dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa.
- Membahas secara reflektif makna dan tatanan kebangsaan yang baru, berlandaskan pembelajaran atas peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM masa lalu, khususnya tragedi 1965.
- Menghasilkan rekomendasi bagi pemerintah untuk menyelesaikan secara komprehensif kasus pelanggaran berat hak asasi manusia dalam tragedi kemanusiaan 1965 (konsep pemulihan korban, rehabilitasi korban, dan lainnya).
Bahkan jika membaca lebih mendalam tujuan dari simposium disebutkan tidak ada satupun cakupan membangkitkan isu PKI. Agus Widjojo justru mengataka tujuan simposium diadakan bukan untuk mencari tahu siapa yang salah atau siapa yang benar, tetapi mencari tahu akar permasalahan mengapa sesama anak bangsa Indonesia saling membunuh saat itu? “Ini untuk menjamin agar tidak terulang kembali peristiwa yang akan datang, forgive but not forget.
Hakekatnya, sejarah seperti yang dikatakan pendiri republik. Ir. Soekarno “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta ! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala daripada masa yang akan datang”. Melihat sejarah secara mata buta sama saja menuntun kita bak keledai yang selalu jatuh di lubang yang sama.
Lantas, bukankah acara simposium nasional dapat dijadikan salah satu buki pemerintah Jokowi memberikan energi besar atas isu PKI. Pernyataan ini seakan-akan pemerintah melupakan aksi yang lain dalam penuntasan HAM. Meskipun, belum sepenuhnya tuntas, pemerintah dalam beberapa data yang saya temukan di Harian Kompas Jumat 13 Mei 2016, hal.4 “Tuntaskan Kasus Trisakti” ternyata melalui Deputi Menteri Sekretaris Negara Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan Dadan Wildan mengatakan, pemerintah sebetulnya telah mengupayakan penyelesaian enam kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Kejaksaan Agung dan Komisi Nasional HAM sudah duduk bersama terkait perkara; peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari 1989 (Lampung), penghilangan orang secara paksa 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, serta Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Pembahasan dilakukan sejak Februari, tetapi hingga April belum selesai.
Belum lagi dalam berbagai kesempatan Presiden menegaskan, PKI dan bentuk komunisme lain masih dilarang. Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memerintahkan Kepala Polri, Jaksa Agung, Panglima TNI, dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menegakkan hukum terkait hal tersebut.
Bahkan Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti di Istana Negara dengan jelas menyampaikan, gunakan pendekatan hukum karena TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 masih berlaku. Di situ tercantum soal pembubaran PKI dan melarang komunisme, larangan terhadap penyebaran ajaran-ajaran komunisme, Leninisme, dan Marxisme. Selain itu, ada satu peraturan yang dijadikan dasar untuk menindak pelaku penyebar ajaran tersebut, yakni Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan Pasal 107 KUHP. Dalam UU tersebut, ada penambahan pada Pasal 107 KUHP, yakni pemerintah melarang kegiatan penyebaran atau pengembangan paham komunisme, Leninisme, dan Marxisme dalam berbagai bentuk.
Berdasarkan hal itu, membangkitkan isu PKI, sama saja Jokowi melanggar sumpah sebagai Presiden Republik, dengan sengaja melanggar konstitusi UUD 1945 dan Pancasila. Konsekuensi logis yang ditanggungnya sangatlah fatal, pelanggaran penghianatan negara, dan dapat berimplikasi terhadap pelengseran-pemakzulan pemerintahan.
Dalam berbagai acara seremonial baik di dalam dan luar negeri, Jokowi selalu menyampaikan. Saatnya antar elemen, jangan ada lagi gontok-gontokan, berkelahi antar sesama anak bangsa. Musuh besar adalah pihak luar-asing (Negara luar) dengan berlakunya pasar bebas regional ASEAN. Pemerintah waktunya bekerja dan stabilitas social-politik nasional menjadi sangat penting.
Isu PKI justru sebaliknya, realita menunjukkan berbagai daerah timbul riak, gejolak sosial. Ormas, LSM yang menentang justru bukan saja dari golongan ormas-ormas, LSM berbaju keagamaan seperti opini Asaaro, melainkan ormas dan LMS serta elemen bangsa yang notabene berbalut nasionalis tulen, siapa yang menyangsikan nasionalisme para veteran republik ? dan siapa yang juga yang menyangsikan nasionalis para santri ? dan elemen lain yang merasa terusik dengan isu ini.
Lantas apakah situasi sosial politik yang rawan ini diharapkan dan sengaja dihembuskan oleh pemerintahan Jokowi-JK ? Saya justru sangsi.
Pemerintahan Jokowi-JK ketika ingin “menghajar” (entah apa maksudnya ?) ormas-ormas, LSM berbaju keagamaan tentu tidak perlu mengorbankan dirinya-(melanggar konstitusi) dengan membangkitkan isu PKI. Ketika ingin menangkap hama tikus dalam lumbung padi, tentu tidak perlu membakar lumbung padi. Cukup menyiapkan perangkap tikus. Jika ingin “menghajar” cukup dengan tegas menerapkan aturan secara tegas.
salam.
sumber :
gambar: http://skalanews.com/detail/pojok-kartun/259597-Hantu-PKI
http://www.rappler.com/indonesia/129348-simposium-nasional-tragedi-1965
http://kamus.cektkp.com/membangkitkan/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H