Mohon tunggu...
Rahayu Setiawan
Rahayu Setiawan Mohon Tunggu... wiraswasta -

membaca dan mengamati. ya jika ada waktu menulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Catatan Asaaro Lahagu: Pemerintahan Jokowi Terus Melempar Isu PKI?

23 Mei 2016   04:34 Diperbarui: 23 Mei 2016   06:59 3610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin beberapa aksi yang dianggap membangkitkan isu PKI seperti acara Simposium Nasional 1965 yang di yang difasilitasi oleh ring I istana yakni, Ketua Watimpres Sidarto Danusubroto, Agus Widjojo dan Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan.  Namun, jika lebih jeli melihatnya acara ini sendiri dianggap oleh Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengaku telah membaca Term of Reference (TOR) acara tersebut.  Ia menyimpulkan tak ada penegasan pengungkapan kebenaran atau tujuan yang strategis dalam pelaksanaan simposium.  Untuk lebih jelasnya saya kutip tujuan dari simposium tersebut:

  • Menempatkan tragedi 1965 secara jujur dan proporsional dalam kesejarahan bangsa Indonesia dengan melacak arti dan menimbang implikasinya dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa.
  • Membahas secara reflektif makna dan tatanan kebangsaan yang baru, berlandaskan pembelajaran atas peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM masa lalu, khususnya tragedi 1965. 
  • Menghasilkan rekomendasi bagi pemerintah untuk menyelesaikan secara komprehensif kasus pelanggaran berat hak asasi manusia dalam tragedi kemanusiaan 1965 (konsep pemulihan korban, rehabilitasi korban, dan lainnya).

Bahkan jika membaca lebih mendalam tujuan dari simposium disebutkan tidak ada satupun cakupan membangkitkan isu PKI.  Agus Widjojo justru mengataka tujuan simposium diadakan bukan untuk mencari tahu siapa yang salah atau siapa yang benar, tetapi mencari tahu akar permasalahan mengapa sesama anak bangsa Indonesia saling membunuh saat itu? “Ini untuk menjamin agar tidak terulang kembali peristiwa yang akan datang, forgive but not forget.  

Hakekatnya, sejarah seperti yang dikatakan pendiri republik. Ir. Soekarno “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta ! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala daripada masa yang akan datang”. Melihat sejarah secara mata buta sama saja menuntun kita bak keledai yang selalu jatuh di lubang yang sama. 

Lantas, bukankah acara simposium nasional dapat dijadikan salah satu buki  pemerintah Jokowi memberikan energi besar atas isu PKI.  Pernyataan ini seakan-akan pemerintah melupakan aksi yang lain dalam penuntasan HAM. Meskipun, belum sepenuhnya tuntas, pemerintah dalam beberapa data yang saya temukan di Harian Kompas Jumat 13 Mei 2016, hal.4 “Tuntaskan Kasus Trisakti” ternyata melalui Deputi Menteri Sekretaris Negara Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan Dadan Wildan mengatakan, pemerintah sebetulnya telah mengupayakan penyelesaian enam kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Kejaksaan Agung dan Komisi Nasional HAM sudah duduk bersama terkait perkara; peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari 1989 (Lampung), penghilangan orang secara paksa 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, serta Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Pembahasan dilakukan sejak Februari, tetapi hingga April belum selesai.

Belum lagi dalam berbagai kesempatan Presiden menegaskan, PKI dan bentuk komunisme lain masih dilarang.  Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memerintahkan Kepala Polri, Jaksa Agung, Panglima TNI, dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menegakkan hukum terkait hal tersebut.

Bahkan Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti di Istana Negara dengan jelas menyampaikan, gunakan pendekatan hukum karena TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 masih berlaku. Di situ tercantum soal pembubaran PKI dan melarang komunisme, larangan terhadap penyebaran ajaran-ajaran komunisme, Leninisme, dan Marxisme. Selain itu, ada satu peraturan yang dijadikan dasar untuk menindak pelaku penyebar ajaran tersebut, yakni Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan Pasal 107 KUHP.  Dalam UU tersebut, ada penambahan pada Pasal 107 KUHP, yakni pemerintah melarang kegiatan penyebaran atau pengembangan paham komunisme, Leninisme, dan Marxisme dalam berbagai bentuk.

Berdasarkan hal itu, membangkitkan isu PKI, sama saja Jokowi melanggar sumpah sebagai Presiden Republik, dengan sengaja melanggar konstitusi UUD 1945 dan Pancasila.  Konsekuensi logis yang ditanggungnya sangatlah fatal, pelanggaran penghianatan negara, dan dapat berimplikasi terhadap pelengseran-pemakzulan pemerintahan.

Dalam berbagai acara seremonial baik di dalam dan luar negeri, Jokowi selalu menyampaikan. Saatnya antar elemen, jangan ada lagi gontok-gontokan, berkelahi antar sesama anak bangsa.  Musuh besar adalah pihak luar-asing (Negara luar) dengan berlakunya pasar bebas regional ASEAN. Pemerintah waktunya bekerja dan stabilitas social-politik nasional menjadi sangat penting.

Isu PKI justru sebaliknya, realita menunjukkan berbagai daerah timbul riak, gejolak sosial. Ormas, LSM yang menentang justru bukan saja dari golongan ormas-ormas, LSM berbaju keagamaan seperti opini Asaaro, melainkan ormas dan LMS serta elemen bangsa yang notabene berbalut nasionalis tulen, siapa yang menyangsikan nasionalisme para veteran republik ? dan siapa yang juga yang menyangsikan nasionalis para santri ? dan elemen lain yang merasa terusik dengan isu ini.

Lantas apakah situasi sosial politik yang rawan ini diharapkan dan sengaja dihembuskan oleh pemerintahan Jokowi-JK ?  Saya justru sangsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun