Ada pepatah mengatakan, "berkata jujurlah, meski pahit." Nyatanya, berkata jujur tidak semudah yang diungkapkan. Ada kalanya, jujur akan membawa kedamaian hidup. Ada pula yang berpendapat, "zaman sekarang masih jujur? ya ajur." Begitu katanya. Kalimat yang sering terdengar di telinga.
Hari Senin, 19 Juli 2021, aku dan temanku menempuh perjalanan yang lumayan jauh. Tujuan utama kami di Tadahan, Krondonan Kecamatan Gondang. Jika diukur, ya sekitar 70km. Yakni dari Bubulan ke Bojonegoro langsung menuju ke lokasi. Berarti, kalau PP sekitar 140km. Waktu itu pas puasa arafah. "Semoga lancar puasa hari ini," pikirku.
Kami berangkat untuk mensurvei ajuan balita sakit kronis. Sesuai dengan suratnya, balita tersebut menderita penyakit liver yang lumayan akut. "Semoga selamat sampai tujuan," gumamku dalam hati. Tak lupa juga aku membaca do'a naik kendaraan.
Di tengah perjalanan, kami melewati jalan terjal. Jembatan yang putus hingga melewati sungai dengan air yang dangkal. Pemandangan yang begitu indah. Ditambah pula gunung- gunung yang menjulang. Bukit- bukit yang berjejer, semakin menambah kekagumanku pada Sang Pencipta. Tadabbur Alam.
Sekitar kurang lebih dua jam, kami sampai tujuan. Sebelumnya, beberapa kali kami berhenti untuk bertanya- tanya tentang alamat yang kami tuju. Alamat si balita tersebut. Hingga akhirnya, arahan- arahan warga membawa kami ke lokasi.
Sampai lokasi, kami sempat kaget. Mustahik yang kami kunjungi ternyata layaknya muzakki. Rumahnya mewah. Memiliki mobil mewah pula. Bahkan, di antara warga sekitar, beliau termasuk orang terkaya. Sayang sekali. Padahal, sesuai pengajuannya, beliau memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu.
Memang benar, ada balita yang sakit kronis. Tapi, peralatan yang ada ditubuhnya sangat lengkap. Mulai selang makanan dan sebagainya. Sungguh, kasihan rasanya. Tapi alhamdulillah, ia sudah mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik bahkan terbaik dari keluarganya.
Tanpa berpikir lama, kami melakukan survei. Ada pedoman berupa kuesioner yang mesti kami isi sesuai prosedur. Setelah dirasa cukup, kami pun berpamitan pulang.
Baru sampai di depan pintu, seorang pria menatap kami.
"Lo, ditekani bakul opo, iki?"
"Rene enek opo, arep dodolan opo?"