. . Kemarin saya terlibat bicara yang intens soal system dengan seorang sahabat bicara. Kami membatasi wacananya pada system pendidikan. Dia praktisi dalam beberapa hal. Selain pendidikan, dia pengurus partai, ustad, ekonom, organisator,apalagi?
. . Ok, bicara ini agak panjang. Cucakruwa saya mau permisi dari mereka yang tidak mau ribet dengan bicara yang rumit dan panjang lebar. Jadi tidak untuk mereka, saya mau membajak pikiran saya dalam tulisan ini. Terserah bicara ini agak ngawur, saya ingin menjadi diri sendiri. Mau pintar, setengahnya, bodoh atau bodoh sekali, pokoknya bodoh amat.
. . Sistem, saya melihatnya sebagai sesuatu yang membentuk dan mempengaruhi ke dalam dan ke luar. Lalu sebuah hal ke atas bisa menjadi system, suprasistem, supra dari supranya system. Sebaliknya ke bawah menjadi subsystem bahkan sub dari subsistem.
. . Pendidikan sebagai system , ke luar atau ke atasnya merupakan sub system dari system nasional, di samping ekonomi, politik, social, dll. Juga sebagai subnya sub system dari global internasional sebagai supra system. Ke bawah atau ke dalamnya merupakan suprasistem dari kurikulum, metode, sarana, guru, murid, evaluasi sebagai unsur atau system yang kecil. Lebih ke dalam lagi, evaluasi menjadi system dari bagian terkecilnya ujian nasional, sekolah, smesteran, ulangan.
. . Evaluasi sebagai unsure atau sub system dalam pendidikan nasional yang sangat sangat mempengaruhi proses belajar mengajar terbentur dalam perbedaan wacana kami. Saya berpikirnya seperti itu, dia melihat justru yang penting belajarnya itu sendiri, serius atau tidak. Dia setuju beberapa factor bisa menjadi unsure penunjang seperti guru yang professional, kurikulum yang, metode yang, sarana yang, dan seterusnya; tapi menafikan apa yang saya anggap juga penting; evaluasi sebagai momok dalam bentuknya: ujian nasional/sekolah, smesteran, ulangan.
. . Kenapa tidak? Ujian sejauh ini tidak lagi dilihat sebagai alat evaluasi untuk mengukur sejauhmana keberhasilan proses belajar mengajar lalu menjadi tolok ukur perbaikan proses itu ke depan. Kalau pun itu ada, tapi dampaknya masih lebih besar lagi, dia menjadi momok dalam belajar yang orientasinya jadi semata untuk nilai-nilai dalam ulangan/ujian tersebut.
. . Ujian menjadi harga mati, memvonis siswa gagal atau berhasil, nilainya kurang, cukup, atau bagus; lalu menunjukkan disparitas nilai kepintaran siswa satu dengan lainnya. Ok, kalau itu dianggap perlu karena harus ada ujian untuk menyeleksi mereka yang tidak atau pantas lulus, menentukan status nilai mereka yang pintar dan bodoh, tapi apa cukup sampai di situ? Karena yang terjadi siswa tidak menemukan kecintaannya terhadap belajarnya itu sendiri, atau materi yang diajarkan bisa menyentuh kebutuhan belajar mereka.
. . Tapi, sengit teman saya ini berargumen; belajarnya itu sendiri yang penting karena sudah sesuai dengan kurikulum. Kurikulumnya sudah digodok secara mumpuni dan akademik oleh pakar-pakar kompeten lagi. Jadi kalau sudah belajar yang maksimal, ujian tidak lagi menjadi masalah; karena sudah pasti mereka akan lulus dengan hasil nilai yang memuaskan.
. . Dia lalu memberikan gambaran belajar yang pernah dilaluinya yang penuh dengan semangat dan motivasi yang timbul dari diri sendiri, di tengah minimnya fasilitas dan sarana penunjang. Kayak Lascar Pelangi, ya? Bagaimana mereka ulet, belajar karena belajarnya itu sendiri. Sehingga seminggu menjelang ujian mereka mengungsikan atau mengunci buku-bukunya, tidak lagi dituntut belajar karena ujian minggu atau esok hari.
. . Saya tidak lagi memperhatikan apa yang diuraikannya, tapi menarik jarak ke atas lalu memperhatikan pikiran macam apa dan dengan siapa saya berbicara. Selesaikan dia berbicara, lalu saya membuat statemen.
. . Syukur anda dengan pikiran yang terbaik karena lahir dengan pembawaan terbaik, teruji dalam kancah situasi yang terukur pas, terbangun dalam motivasi dan tantangan yang dinamis. Jadi tidak heran anda merasa pede dan berhasil dengan semua proses yang dilalui tersebut.
. . Nah, saya yang bodoh (telmi lah) kenapa malah bersyukur tidak seperti itu? Yang karena dari sononya sudah pintar atau dalam proses yang terukur menjadikan dia pintar, lalu memintarkan keharusan orang lain untuk jadi pintar sepintar dia.
. . Beruntung saya bodoh dan mau jadi pintar tapi tidak lekas-lekas meninggalkan kebodohan itu sendiri agar bisa memahami dan menapaktilasi semua hal yang menjadikan dan melatarbelakangi kebodohan kenapa dia sampai dan pernah ada.
. . Dia(kebodohan) itu hadir dari sebuah system yang melatarbelakanginya, memprosesnya, membentuknya, dan yang tidak ramah dengan setiap kebodohan yang ada.
. . Ah, saya jadi bodoh melihat dan meneruskan bicara ini. Di tengah kantuk yang sarat dari dini hari terbangun untuk menulis catatan ini. Saya perlu membangun system itu dalam tidur sejenak. Siapa tahu ada yang terimpikan dalam tidur sesaat sebelum bangun di pagi telat nanti.
. . By: Fajrin with cucakruwa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H