Mohon tunggu...
Di Timur Fajar
Di Timur Fajar Mohon Tunggu... -

Titip salam dari pemilik lapak ini: Aku andaikan mereka dan mereka andaikan aku. Cobalah berempati: merasakan berada pada posisi mereka, maka akan banyak yang bisa kita mengerti dan pahami tentang mereka, tentang kesalahan mereka. Karena kenyataan tidak pernah salah. Tuhan menghadiahi kita akal, bahwa ada kausalitas dalam setiap persoalan. Maka pandai-pandailah menguraikannya." (Rahayu Winette) Jadilah diri sendiri namun tak ada salahnya Anda(i) coba berempati dalam posisi orang lain. (Di Timur Fajar)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

88). Kebebasan Dalam Keter'buka-buka'an

22 Desember 2010   04:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:30 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

02# Kita mendorong kesalehan baiknya mulai dari dalam hati, bukan tampak luarnya saja. Jadi perkara maksiat itu cara berpikir seseorang, orang yang berpikir maksiat itulah (Anda belum melakukan maksiat ya?) justru yang lebih buruk dihadapan Tuhan dibandingkan wanita yang pakai baju "seksi" tapi sesungguhnya berhati baik di hadapan Tuhan.

. . RW* Senang kalau bisa berpikir dan menjadi seperti itu. Rasanya kita semua bisa 'ke sana' dengan prinsip berpikir demikian. Untuk apa bertutup rapat dengan busana jilbab kalau hati dan pikirannya terburai oleh pikiran yang jorok. Tapi menurut hemat saya, selain syariat; menutupi aurat adalah upaya membatasi kita ke hal-hal yang tidak mampu secara indrawi kita kekang.

Kadang kita membutuhkan 'batasan' itu, tidak cuma bagi kita ; juga bagi anak-anak dan siapa yang kita perduli keselamatan imannya.

Ditanya apakah diri sendiri belum melakukan maksiat? Seandainya pernah, kita tidak harus membenarkan cara yang salah hanya karena kita pernah ada di sana, bukan?

03# Persoalan maksiat tidak selesai hanya dengan solusi "tutup aurat" karena banyak yang sudah ditutup auratnya, tetap aja mesum pikiran dan isi hatinya, jadi jalan keluar buat maksiat bukan membatasi cara berpakaian seseorang, ini intimidasi kepada kemerdekaan perempuan untuk berpakaian, lah wong otak cowoknya yang "ngeres" kok perempuannya disuruh repot-repot nutup bagian ini-itu, kalau jorok tetap aja jorok biar ditutup pakai semen sekalipun tubuh wanitanya.

. . RW* "...banyak yang sudah ditutup auratnya, tetap saja mesum pikiran dan isi hatinya". Kalau diperjelas yang pikirannya mesum perempuannya, atau lelaki yang melihatnya?

Pernah satu ketika selagi berjualan datang pembeli perempuan cantik yang celana pendeknya tinggal sejengkal jari dari selangkangan. Selagi melayaninya saya memperhatikan sepasang mata menatap tanpa jeda. Sampai giliran dia mau saya layani, kesadarannya belum beranjak dari 'situ'.

Sepengetahuan saya lelaki itu lumayan imannya, tapi tidak cukup untuk memalingkan dia dari godaan pemandangan yang datang di sekitar dia.

Kita tidak harus ekstrim menutupi aurat sampai dengan yang bukan aurat seperti di Afganistan itu, tapi tidak harus karena adanya ketertutupan se'misterius' itu lantas yang kita mau tuntut kebebasan terbuka tanpa batas, misalnya sampai telanjang.

Contoh di atas bukankah akan berbeda kalau saja wanita cantik itu mau tampil sedikit sopan, sehingga dengan itu orang lain akan 'sopan' melihatnya.

04# Kita perlu jadikan seks sebagai hal yang biasa, jangan ditabukan. Sama dengan organ lain, kebutuhan lain. Seks kalau ditutup-tutupi, yang ini tidak boleh, itu jangan; tanpa dijelaskan alasannya, bikin anak akan mencari sendiri dan berakhir di buku-buku dan situs porno.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun