Mohon tunggu...
Ancha Hardiansya
Ancha Hardiansya Mohon Tunggu... Freelance Journalist -

Kau ciptakan malam, tapi kubuat lampu, Kau ciptakan lempung, tapi kubentuk cepu, Kau ciptakan gurun, hutan dan gunung, kuhasilkan taman, sawah dan kebun...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

'Saya dari Tegal dan Ingin Kuliah'

15 April 2011   08:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:47 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jam sudah menjuk pukul 21.37 wita ketika saya keluar dari sebuah teater di salah satu mall di Makassar. Perut sedikit berbunyi meminta diisi sesuatu. Sebelum keparkiran motor yang ada disebrang jalan, ku sempatkan diri mengocek kantong celana mengambil sebungkus rokok dan korek.

Sambil mengisap, pikiran terus mengulang dan memaknai film yang baru saja saya tonton. Dengan menghirup napas sedikit dalam, dan batang rokok sudah menghampiri batas akhir, ku kuatkan hati menuju parkiran dan melaju menyusuri malam yang masih ramai.

Setelah keliling mencari tempat makan, akhirnya pilihan jatuh disalah satu sudut jalan yang berjarak 500 meter dari mall tempat nonton tadi.

Setelah memesan bihun goreng, rokok kembali keambil sambil menunggu. Di tempat itu hanya ada satu meja dengan banyak kursi. Sudah ada empat orang yang duduk disana ketika saya masuk, masing-masing duduk berjejer menghadap gerobak yang terang dengan lampu neon.

Disaat yang bersamaan saya masuk, seorang pemuda juga duduk disamping ku dengan tindik di teliga kanan dan kirinya. Tak cuma itu, jari-jarinya pun berwarna hitam dan dilengkapi dengan bibir mata yang juga hitam.

Belum lengkap kalau dia tak memakai celana yang mencekik mata kaki yang dipadukan denga warna serba hitam pula. Ditangannya sempat saya lirik tertulis Edi yang tepat dibawah telapak tangannya, tepintas nampaknya itu permanen.

Tak hiraukan dia. Kini mataku menatap empat orang yang ada didepan ku. Masih sambil menghisap sebatang rokok, keperhatikan dua orang disebelah kiriku. Kedua orang ini bukan orang Makassar. Bahasanya mengindentifikasi dia dari pulau Jawa, lebih tepatnya Jakarta.

Tidak banyak cerita dari mereka yang bisa saya simpulkan. Anggapan saya mereka pebisnis atau sedang bekerja disatu perusahaan tentang penjual beliaan sesuatu. Umur mereka yang rata-rata sudah berkepala tiga menambah yakin diriku, meraka orang sibuk.

Kini giliran dua orang disebelah kanan ku. Sejak masuk tadi, mereka asik bercerita. Mula-mula pemuda yang pas ada didepan ku, menerima telepon dan berbicara dalam bahasa bugis soppeng, satunya lagi asik dengan blackberry dibubuhi cengiran-cengiran ringan dipipinya.

Setelah menerima telepon, mereka saling cerita. Ku curiga meraka sepasang teman atau kekasih terlarang. Pasalnya, bahan cerita mereka melulu tentang cowo yang ia kenal lewat blackberry masengger. Bahkan bawa-bawa kata perjaka tinting dalam membalas pesan dari Erik yang ia sebut dari Bandung.

Keasikan meraka dalam bercerita makin menguatkan pikiranku mereka membahas masalah kelaki-lakian. Tidak ada rasa malu bagi mereka, walau sudah berapa mata yang menyorotnya, tetap saja pembahasan yang senonoh tidak membuatnya terdiam.

Gaya berpakaian dan sesekali ada cekikikan khas lelaki sedikit menyimpang, menambah yakin diriku, entah pria bertindik disebelah ku juga berpikir sama atau tidak. Yang jelas dua orang dari Jakarta tadi sudah pasti tidak berpikir demikian, karena meraka lebih dulu meninggalkan tempat itu.

Makan ku sudah datang. Sebatang rokok yang menemani menunggu juga sudah habis. Bihun goreng spesial, telah didepan mata. Setelah menambahkan bumbu sana sini, makanan dilahap oleh perut yang lapar.

Alhamdullah, sudah kenyang kembali. Pria berpakaian hitam-hitam yang mengingatkan ku pada acara kematian itu, telah lebih dulu meninggalkan tempat. Tinggal dua pemuda tadi yang masih tinggal.

Ku ambil kembali bungkusan rokok dan menghirupnya dalam. Kata teman-teman se perokokan ku, penjajahan tersadis di dunia ini adalah ketika setelah makan dan tak ada rokok. Entah mengapa otak saya malah mengiyakan saja, ungkapan konyol itu.

Dua orang itu juga sudah akan berangkat. Saya masih asik dengan isapan rokok. Tiba-tiba kata-katanya merekatkan pikiran-pikiran liar selama duduk disana. “Saya ke rumah Rian dulu, minum ballo, mau ikut?,” ajak pemuda yang pegang blackberry.

“Akh, tidak lagi deh, begituan sudah saya tinggalkan, tinggal dua, rokok dan sex yang belum saya lupakan,” kata pemuda yang satunya sambil mengedipkan mata dan merangkul pinggang temannya dan beranjak ke atas motor metik miliknya.

Wow, ternyata oh ternyata. Masih sedikit tak habis pikir, saya tetap duduk dan cengir-cengir sendiri. Sambil merampungkan kenikmatan pada penjajahan terparah bagi manusia perokok.

“Mas kuliah yah?” tanya pemuda yang dari wajahnya kemungkinan masih duduk dibangku SMU sambil merapikan  piring tempat tamu-tamunya makan tadi. Sambil senyum, saya balik dan berkata iya.

“Enak yo mas kuliah?” lanjutnya bertanya. Bingung juga mau jawab apa, karna dibangku kuliah ada enaknya ada tidaknya juga. Saya jawab saja, biasa saja. Tak sampai disitu, dia malah bertanya sesuatu yang tak pernah saya pikir selama ini.

“Kalau kuliah, lulus bisa langsung kerja yo, atau langsung bisa punya usaha?”

Sejenak ku terdiam. Ini sungguh satu pertanyaan yang orang tua saya saja pun belum sempat tanyakan. Logak Jawanya yang kental terus terniang. Sedikit tersenyum, lalu kujawab.

“Tidak semua juga bisa langsung kerja dan buka usaha, kalau dia pintar dan nilainya tinggi, melamar kerja bisa jadi langsung kerja, dan kalau punya modal bukan cuma uang, dia bisa langsung buka usaha.” kata ku sekenanya saja.

Sedikit mengerti dia lalu bercerita, sudah tiga malam ini tempatnya disinggahi mahasiswa yang cara berpakaian dan penampilannya hampir mirip dengan saya. Dengan nyegir dia berkata mungkin saya saudara dengan mereka.

Saya hanya bisa tersenyum melihat kepolosannya. Namun setelahnya, dia buat saya terpiam dengan kata-katanya. “Saya juga pingin kuliah, tapi lulus SMU saja tidak, bagaimana mau kuliah,” ceritanya sambil terus mencuci piring bekas tempat makan pengunjungnya.

Penasaran apa penyebabnya. Tanpa ditanya dia lalu melanjutkan. “Saya baru setahun di Makassar mas, orang tua hanya buruh kecil di Tegal, saya tujuh bersaudara dan saya yang paling tua, sekolah saya putus di kelas dua karena tak ada biaya, ada ajakan merantau, saya lalu jalani hingga kini,” tuturnya sambil senyum kecut.

Saya pun hanya bisa tersenyum mengikutinya. Tanpa bisa berbuat banyak dengan kondisinya. “Yang sabar saja mas, kalau ada waktu kedepan, sekolahnya dilanjutin ya, orang sukses bukan karena sekolahnya tinggi mas, tapi karena dia mau merubah nasibnya dengan kerja semampunya, sekolah itu hanya salah satu faktor, masih banyak faktor lain,” kata ku berusaha menguatkan.

Dia pun mangguk-mangguk sedikit paham, tetapi tetap dimatanya terlihat sedikit cahaya kecemburuan. Pengunjung lain kembali berdatangan, rokok ditangan pun sudah hampir habis, setelah bertanya harga saya pun bergegas meninggalkan warung tersebut.

Tetapi sebelum pergi dia menyapa untuk saya kembali lagi nantinya. Dengan terseyum saya berpaling darinya dengan satu rasa kesyukuran besar dalam hati. Saya masih bisa kuliah hingga sekarang, walau sudah masuk tahun kesekian belum juga selesai tetap ada rasa syukur dalam hati.

Pembicaraan singkat itu pula membuat saya teguh untuk menyelesaikan kuliah lebih cepat. Tak terbayangkan kedua orang tua saya yang sudah berpeluh-peluh mencari uang. Untung saya hanya lahir bersaudara dengan kesendirian, yang tidak menambah pusing orang tua.

Malam itu saya kembali kerumah dengan perasaan penuh. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun