Judul di atas sedikit menggambarkan reaksi masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang mengatur penjualan LPG 3 kg untuk dibeli hanya melalui pangkalan resmi, dan tidak lagi bisa dijual eceran.
Tempat saya tinggal hanya berjarak sepuluh langkah dari warung Madura yang biasa menjual elpiji eceran. Bahkan, beroperasi 24 jam. Luar biasa.
Sedangkan ke pangkalan resmi terdekat jaraknya sekira 1,9 km itu setara dengan 12 menit perjalanan dengan sepeda motor. Jam 21.00 WIB biasanya sudah tutup.
Karena saya tinggal di kampung, sore tadi tukang bakso keliling langganan melintas di depan rumah. Dan, saya sangat memahami keluhannya.
"Harga elpiji di pangkalan resmi Rp18.000, tapi jaraknya agak jauh, tambah biaya lagi mas. Mending saya beli di warung Madura, harganya Rp20.000-21.000."
Kebijakan pemerintah ini sebenarnya bertujuan untuk mengurangi penyalahgunaan subsidi, memastikan distribusi yang lebih efisien, serta meningkatkan pengawasan terhadap konsumsi energi rumah tangga.
Namun, kebijakan ini tidak hanya memengaruhi masyarakat yang menggunakan LPG 3 kg untuk kebutuhan rumah tangga, tetapi juga berdampak signifikan pada kelompok-kelompok usaha mikro dan kecil seperti pedagang kaki lima.
Artikel ini akan membahas bagaimana kebijakan ini, meskipun bertujuan baik, dapat menimbulkan ketegangan dalam masyarakat, terutama di kalangan pedagang kecil.
Latar Belakang Kebijakan dan Tujuan Pemerintah
Pemerintah Indonesia sejak lama memberikan subsidi untuk LPG 3 kg dengan tujuan memastikan bahan bakar murah bagi rumah tangga miskin.