Bayangkan Pramoedya Ananta Toer hidup di zaman digital, di mana kecerdasan buatan (AI), algoritma, dan viralitas menjadi jantungnya teknologi informasi yang mengubah cara kita berkomunikasi, belajar, dan menulis.
Bagaimana sang sastrawan legendaris ini akan menavigasi dunia baru? Apakah ia akan memanfaatkan teknologi untuk memperluas pengaruhnya, atau justru mengkritiknya sebagai alat baru penindasan?
Yang pasti, saya akan jadi follower pertama Pramoedya di semua akun media sosial miliknya.
Menulis di Zaman Digital: Antara Kemudahan dan Tantangan
Di era digital, Pramoedya mungkin akan menemukan kemudahan yang tak terbayangkan.
Platform seperti Google Docs atau Notion memungkinkannya menulis di mana saja, kapan saja, tanpa khawatir kehilangan naskah---seperti yang terjadi pada naskah Bumi Manusia yang dirampas dan dibakar oleh rezim Orde Baru.
Media sosial Twitter atau Substack bisa menjadi panggung baru baginya untuk menyebarkan pemikiran dan karyanya langsung ke pembaca, tanpa melalui filter penerbit atau sensor pemerintah.
Singkatnya, semua cara penulisan, distribusi, dan promosi karyanya akan berubah secara signifikan.
Namun, kemudahan ini juga datang dengan tantangan. Di tengah banjir informasi, karya sastra bisa tenggelam dalam hiruk-pikuk konten digital.
Pramoedya, yang dikenal dengan gaya penulisan yang mendalam dan penuh refleksi, mungkin akan menghadapi tekanan untuk menyesuaikan diri dengan budaya instan dan cepat saji.