Saat orangtua membagikan foto atau informasi tentang anak mereka, mereka sering kali tidak menyadari risiko yang mengintai.
Penggunaan gambar anak tanpa kontrol yang tepat dapat membuka peluang bagi penyalahgunaan, termasuk pedofilia, pencurian identitas, eksploitasi seksual, atau cyberbullying.
Seiring bertambahnya usia anak, mereka bisa merasa terpapar atau bahkan terganggu oleh jejak digital yang telah ditinggalkan oleh orangtua mereka.
Hak privasi yang seharusnya dimiliki oleh setiap individu---termasuk anak-anak---bisa terlupakan dalam euforia berbagi kebahagiaan.
Anak-anak, yang belum bisa memberikan izin atau membuat keputusan mengenai apa yang dibagikan tentang kehidupan mereka, sering kali tidak memiliki kontrol terhadap bagaimana informasi mereka diperlakukan.
Sebelum sharenting, adillah sejak dalam pikiran!
Â
Referensi:
Blum-Ross, A., & Livingstone, S. (2017). "Sharenting," parent blogging, and the boundaries of the digital self. Popular Communication, 15(2), 110--125. DOI: 10.1080/15405702.2016.1223300.
Sari, Genoveva Lidwina. (2024). Pelanggaran batas privasi anak dalam praktik sharenting pada kalangan selebriti Indonesia. Jurnal Indonesia: Manajemen Informatika dan Komunikasi (JIMIK). Vol. 5, No. 2. DOI: 10.35870/jimik.v5i2.598.
Hidayati, Novi., Meliani, Fitri., Yuliyanto, Aan. (2023). Sharenting dan perlindungan hak privasi anak di media sosial. Research in Early Childhood Education and Parenting. Vol. 4, No. 1, hal. 27-34.