"Apa kabar tukang cukur jalanan?". Apakah dunia modern masih memperhatikan nasib sebarisan ahli pangkas tradisional yang sudah mulai termakan usia itu. Tangan dipenuhi keriput yang terkadang gemetar adalah penanda keteguhan perjuangan yang panjang.
Di tengah maraknya barbershop berkilau dengan interior futuristik dan aroma produk perawatan rambut yang menggoda, ada sosok yang dengan tenang melaju dengan gerobak kayunya, membawa gunting dan pisau cukur tradisional.
Tukang cukur jalanan--sang penjaga tradisi yang melintasi jalanan kota dan desa, dengan senyum ramah yang tak lekang oleh waktu--tetap hadir, meski dunia barbershop modern menguasai pangsa pasar.
Seperti angin yang tak terlihat, tukang cukur jalanan berkeliling terus bergerak, tanpa perlu tanda neon atau ruang megah untuk dikenal. Mereka adalah bagian dari kehidupan yang bergerak sederhana.
Dalam gelombang modernisasi yang serba cepat, mereka tetap bertahan--pahlawan tanpa tanda jasa di dunia pangkas memangkas rambut.
Mereka yang, meski dengan keterbatasan ruang dan peralatan, terus menghidupkan akurasi dalam setiap guntingan, serta membuktikan bahwa orisinalitas masih memiliki tempat dalam dunia yang semakin serba instan.
Awal Mula yang Samar
Profesi tukang cukur jalanan di Indonesia memiliki sejarah yang kaya dan beragam, dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, budaya, dan migrasi.
Meskipun tidak ada catatan pasti mengenai kapan profesi ini pertama kali muncul, jejaknya dapat ditelusuri kembali ke zaman kolonial Belanda.
Profesi tukang cukur di Indonesia banyak dipengaruhi oleh budaya dari daratan Tiongkok. Sejak zaman kolonial, orang Tionghoa dikenal terampil dalam memangkas rambut dan membersihkan telinga (Nishlah, Hilyatun & Dhita Hapsarani, 2021).
Selain itu, etnis Madura juga memiliki tradisi kuat dalam profesi ini, yang berkembang sebagai respons terhadap migrasi akibat konflik sejarah seperti pemberontakan Trunojoyo (Prasetyo, 2021).
Melalui foto-foto dari Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) atau Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda menunjukkan keberadaan tukang cukur jalanan di beberapa kota besar Indonesia antara tahun 1911 hingga 1930-an.
Ini mencakup aktivitas tukang cukur di Surabaya dan Medan, yang menunjukkan bahwa profesi ini sudah ada sejak lama (Wikipedia.com).
Banyak tukang cukur berasal dari daerah Garut, Jawa Barat. Pada tahun 1950-an, konflik DI/TII menyebabkan banyak penduduk Garut bermigrasi ke daerah lain untuk mencari nafkah sebagai tukang cukur.
Profesi ini kemudian berkembang menjadi pekerjaan yang menjanjikan dan dihormati (Nishlah, Hilyatun & Dhita Hapsarani, 2021; Soekirno, 2017).
Tukang Cukur Jalanan sebagai Ikon Tradisi
Tukang cukur jalanan, meski sering terlihat sederhana dan bahkan kadang terlupakan dalam hiruk-pikuk kota yang sibuk, adalah wajah sejati dari keberlanjutan tradisi.
Tanpa kursi kulit mewah, tanpa fasilitas berkelas internasional, mereka tetap memberikan sebuah potongan rambut dengan sentuhan yang penuh kearifan lokal.
Mereka adalah bagian dari budaya yang jarang dibicarakan, namun menyentuh setiap lapisan kehidupan. Setiap guntingan adalah penanda kehidupan yang sederhana, yang tak terpengaruh oleh glamour dunia barbershop modern.
Mereka lebih memilih bertemu pelanggan dalam kedekatan yang manusiawi, bercakap-cakap sambil memotong rambut, berbagi cerita, atau sekadar memberi ruang bagi orang-orang yang ingin menikmati sedikit ketenangan di dunia yang semakin berisik.
Berpindah dari Jalan ke Jalan: Menyusuri Jejak Tradisi
Keberadaan tukang cukur yang menyandang stigma "tradisional" ini seperti sebuah aliran sungai tradisi yang terus mengalir meski banyak yang berusaha membendungnya dengan kekuatan arus modernitas.
Mereka berkeliling, dari satu rumah ke rumah lain, dari gang ke gang, memberikan sentuhan personal yang sulit ditemukan di tempat-tempat yang hanya mengandalkan teknologi atau desain interior mewah.
Tukang cukur tradisional, dari manapun asalnya, membawa dunia mereka ke jalanan--ke tempat-tempat yang tak terlihat oleh mata mainstream, namun sangat berarti bagi kehidupan masyarakat yang lebih mengutamakan kedekatan daripada sekadar tampilan luar.
Dengan alat cukur yang tak pernah berubah, dan gerobak sederhana sebagai "salon berjalan", mereka menjadi tanda dari keberagaman, bahwa di balik gemerlap kota, ada ruang bagi yang sederhana untuk tetap bertahan.
Di Tengah Barbershop: Sebuah Perlawanan Halus
Masyarakat modern sering kali tergoda untuk berlarian ke barbershop berdesain artistik, dengan harga yang fantastis, hanya untuk mendapatkan potongan rambut yang sesuai tren.
Namun di balik megahnya fasilitas itu, tukang cukur jalanan tetap menunjukkan bahwa keindahan tak selalu harus datang dari yang modern.
Mereka membuktikan bahwa potongan rambut yang terbaik tak melulu tentang gaya, tetapi tentang keaslian dan keterikatan yang terbentuk antara tukang cukur dan pelanggan.
Tukang cukur jalanan seakan menjadi simbol dari perlawanan halus terhadap dominasi dunia yang serba cepat dan konsumtif. Mereka tidak perlu beradu dengan barbershop untuk mendapatkan pengakuan.
Mereka ada karena keterikatan sejarah yang terus berjalan, ada karena mereka memberi sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar potongan rambut--mereka memberi kenangan dan hubungan sosial yang tidak dapat dibeli oleh uang.
Potongan Rambut yang Lebih dari Sekadar Penampilan
Potongan rambut di tangan tukang cukur semacam ini bukan hanya tentang penampilan semata. Ia adalah bentuk dari ritual keseharian yang membawa makna lebih bagi mereka yang datang.
Sering kali, tukang cukur jalanan adalah pendengar yang baik. Sebuah tempat untuk bercerita, untuk berbagi, untuk merenung.
Mereka mendengarkan tanpa menghakimi, dan memberikan ruang bagi setiap orang untuk merasa terhubung dengan diri mereka sendiri.
Di sini, setiap guntingan menjadi lebih dari sekadar tindakan teknis. Ini adalah bagian dari hubungan sosial yang membumi. Tidak ada ruang untuk berpura-pura atau bersikap formal.
Di kursi tukang cukur keliling, kita hanya ada untuk menjadi diri kita yang paling sejati--dengan rambut yang dipotong rapi dan hati yang sedikit lebih ringan.
Tradisi yang Tidak Perlu Diperbarui
Di dunia yang dipenuhi dengan inovasi yang selalu baru, tukang cukur keliling tetap berjalan dengan ritme mereka sendiri. Mereka adalah penjaga tradisi yang tidak perlu "memperbarui diri."
Mereka tahu betul bahwa dalam dunia yang sering kali berubah, ada hal-hal yang lebih berharga dari sekadar tren terbaru. Sebuah gunting, sebuah pisau cukur, dan sebuah senyuman--mereka tetap bertahan dengan keaslian yang tak ternilai.
Sebagaimana kita mendengarkan suara-suara dari dunia lama yang tetap ada meski dunia berputar lebih cepat, tukang cukur keliling tetap mempertahankan makna dari pekerjaan mereka yang sederhana.
Mereka mengajarkan kita bahwa kadang-kadang, apa yang kita butuhkan bukanlah sesuatu yang baru atau megah. Terkadang, kita hanya perlu sesuatu yang membumi, yang berbicara lebih dalam daripada sekadar penampilan.
Tukang Cukur Keliling, Simbol Keberagaman Kota
Di tengah belantara barbershop modern yang berkilau, tukang cukur jalanan adalah berita lama yang tetap hadir dalam kehidupan kota, seperti angin yang tak terlihat, tetapi selalu ada.
Mereka mengajarkan kita bahwa tradisi tak perlu dimodernisasi atau diubah untuk bisa bertahan. Keaslian mereka adalah kekuatan yang lebih besar dari semua teknologi dan tren.
Mereka ada untuk memberi kita kenangan, dan lebih dari itu, memberi kita pemahaman bahwa hidup adalah tentang keterikatan, bukan sekadar penampilan.
"Tukang Cukur Jalanan: Menyisir Tradisi di Tengah Belantara Barbershop Modern" adalah kisah tentang sebuah tanggung jawab profesi dan ikhtiar bertahan hidup yang tak hanya sekadar menghasilkan style potongan rambut, tetapi juga menyambungkan kita kembali pada akar kita---dimana yang sederhana bisa menjadi yang terindah.
Referensi:
Nishlah, Hilyatun & Dhita Hapsarani. 2021. Pengaruh Profesi Tukang Cukur dalam Transformasi Kampung Peundeuy, Banyuresmi, Garut. Paradigma: Jurnal Kajian Budaya. Vol. 11, No. 3 (January), hal. 326-344. DOI: 10.17510/ paradigma.v11i3.494.
https://topcareer.id/read/2021/03/14/58887/sejarah-profesi-tukang-cukur-rambut-di-indonesia/
https://www.ciputra.ac.id/library/ada-syuhada-merawat-tradisi-tukang-cukur-garut/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI