Selain itu, etnis Madura juga memiliki tradisi kuat dalam profesi ini, yang berkembang sebagai respons terhadap migrasi akibat konflik sejarah seperti pemberontakan Trunojoyo (Prasetyo, 2021).
Melalui foto-foto dari Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) atau Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda menunjukkan keberadaan tukang cukur jalanan di beberapa kota besar Indonesia antara tahun 1911 hingga 1930-an.
Ini mencakup aktivitas tukang cukur di Surabaya dan Medan, yang menunjukkan bahwa profesi ini sudah ada sejak lama (Wikipedia.com).
Banyak tukang cukur berasal dari daerah Garut, Jawa Barat. Pada tahun 1950-an, konflik DI/TII menyebabkan banyak penduduk Garut bermigrasi ke daerah lain untuk mencari nafkah sebagai tukang cukur.
Profesi ini kemudian berkembang menjadi pekerjaan yang menjanjikan dan dihormati (Nishlah, Hilyatun & Dhita Hapsarani, 2021; Soekirno, 2017).
Tukang Cukur Jalanan sebagai Ikon Tradisi
Tukang cukur jalanan, meski sering terlihat sederhana dan bahkan kadang terlupakan dalam hiruk-pikuk kota yang sibuk, adalah wajah sejati dari keberlanjutan tradisi.
Tanpa kursi kulit mewah, tanpa fasilitas berkelas internasional, mereka tetap memberikan sebuah potongan rambut dengan sentuhan yang penuh kearifan lokal.
Mereka adalah bagian dari budaya yang jarang dibicarakan, namun menyentuh setiap lapisan kehidupan. Setiap guntingan adalah penanda kehidupan yang sederhana, yang tak terpengaruh oleh glamour dunia barbershop modern.
Mereka lebih memilih bertemu pelanggan dalam kedekatan yang manusiawi, bercakap-cakap sambil memotong rambut, berbagi cerita, atau sekadar memberi ruang bagi orang-orang yang ingin menikmati sedikit ketenangan di dunia yang semakin berisik.
Berpindah dari Jalan ke Jalan: Menyusuri Jejak Tradisi