Waktu menunjuk pukul 10.00 WIB, 22 Januari 2025 sebanyak 2.623 personel gabungan bergerak untuk memulai prosesi pembongkaran pagar laut di perairan Tangerang, Banten (Kompas.tv, 22/1/2025).
Ribuan personel tersebut merupakan gabungan dari berbagai lembaga negara dan komunitas nelayan, meliputi: TNI AL 753 personel, KKP 450, Polair 80, Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Republik Indonesia (KPLP) 30, Bakamla 100, Pemprov Banten 95, dan dari unsur nelayan sebanyak 1.115 orang.
Aksi kolosal ini, sayangnya dimulai setelah kasus pagar laut 'misterius' sepanjang 30,16 km itu mulai viral di selasar media sosial maupun elektronik. Serta desakan tegas dan perintah langsung dari Presiden Prabowo.
Walau demikian, apresiasi patut diberikan kepada seluruh personel dan pimpinan lembaga tinggi negara serta nelayan yang terlibat dalam proses tersebut. Termasuk, pak Kholid 'the fisherman'.
Kasus pagar laut, yang sudah tidak misterius lagi, semoga menjadi pelajaran kolektif bagi seluruh masyarakat dan lembaga-lembaga terkait lainnya.
Diskursus tentang kondisi masyarakat pesisir dan nasib nelayan kecil mulai mengemuka. Ada sesuatu yang kelam di balik glorifikasi pembongkaran pagar laut. Jumlah nelayan miskin Indonesia yang cukup signifikan harus menjadi perhatian pemerintah.
Realitas Masyarakat Pesisir di Indonesia
Investigasi Kompas tahun 2023 menyebutkan bahwa kemiskinan wilayah pesisir menyumbang sebanyak 68 persen dari total angka kemiskinan di Indonesia (Kompas.id, 31/10/2023).
Angka tersebut dihitung berdasarkan jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir Indonesia yang mencapai 17,74 juta jiwa---3,9 juta jiwa di antaranya masuk kategori miskin ekstrem--yang disandingkan dengan total penduduk miskin sebesar 26 juta jiwa (BPS, 2022).
Angka-angka kelam masyarakat pesisir tersebut senada dengan hasil penelitian AF Sigit Rochadi, seorang profesor sosiologi dari Universitas Nasional, menyebutkan beberapa karakteristik keterbelakangan di desa pesisir Lombok Utara.
Angka kemiskinan sangat tinggi mencapai 43,13 persen; Sebanyak 12 persen adalah nelayan buruh (nelayan yang bekerja pada nelayan juragan yang memiliki kapal); upah yang diterima nelayan buruh jauh di bawah upah minimum kota (UMK); dan ketergantungan nelayan terhadap alam sangat tinggi.
Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian Najib dan kawan-kawan bertajuk, "Masyarakat pesisir di Desa Kuranji Dalang Kecamatan Labuapi Kabupaten Lombok Barat" (Najib et al, 2024).
Penelitian lainnya datang dari Deshinta Vibriyanti, dimana hasil empirik menunjukkan bahwa kondisi pendidikan nelayan di Kota Tegal, Jawa Tengah yang rendah menyebabkan nelayan memiliki hambatan dalam mengakses berbagai program-program pemberdayaan dari pemerintah (Vibriyanti, 2014).
Disertasi tahun 2020 dari Gita Mulyasari, UGM yang meneliti tentang kemiskinan nelayan di wilayah pesisir Jawa Tengah dan Bengkulu menemukan fakta-fakta:
1. Jenis dinding tempat tinggal nelayan terbuat dari kayu berkualitas rendah, dinding rumah tidak diplester, tingkat pendidikan rendah, dan sulitnya untuk mendapatkan akses air bersih.
2. Indikator kerentanan penghidupan meliputi penurunan tangkapan, pendapatan nelayan, biaya operasional, rumah tangga miskin, pendapatan di luar sektor perikanan, ukuran kapal, dan kapasitas tangkapan.
3. Nelayan memiliki pemahaman yang terbatas tentang perubahan iklim.
4. Terdapat hubungan antara pemahaman perubahan iklim terhadap kemiskinan dan kerentanan penghidupan nelayan baik di pesisir Jawa Tengah maupun di pesisir Bengkulu.
5. Nelayan di pesisir Jawa Tengah dan Bengkulu memiliki tingkat adaptasi yang rendah terhadap perubahan iklim.
6. Kehidupan nelayan yang miskin dan keterbatasan sumber daya, menyebabkan rendahnya tingkat adaptasi nelayan.
Terbaru. Karena meningkatnya aktifitas di wilayah pesisir dan laut, ditemukan logam berat Timbal (Pb) dan dan Tembaga (Cu) pada organisme seperti Udang putih, Rajungan, Kerang bulu, dan Gastropoda yang ditangkap di perairan Tegal dan Semarang (Suryono & Indardjo, 2023).
Konsentrasi tertinggi pada logam Pb (4,48 - 5,76 ppm) pada biota dari perairan Semarang dan di perairan Tegal (0,53 -- 3,055 ppm). Sedangkan logam Cu yang terdapat dalam biota di perairan Semarang (0,03 - 0,177 ppm) dan di perairan Tegal (0,131 -- 0,197).
Pemiskinan Struktural dan Marginalisasi
Kondisi nelayan dan masyarakat pesisir di Indonesia bukanlah hasil dari ketidakmampuan individu atau kegagalan dalam mencari pekerjaan, melainkan akibat dari pemiskinan struktural yang disebabkan oleh dinamika pergerakan modal dan kebijakan pembangunan yang bias kelas.
Dalam perspektif kritis, proses ini disebut sebagai eksploitasi---yaitu ketika nilai tambah yang dihasilkan oleh kerja nelayan tidak kembali kepada mereka dalam bentuk upah yang adil atau akses yang setara terhadap sumber daya.
Nelayan miskin juga sering kali dimarginalkan dalam proses pengambilan keputusan, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Mereka tidak memiliki suara yang cukup untuk mempengaruhi kebijakan yang mempengaruhi hidup mereka.
Bahkan dalam forum-forum yang diadakan untuk membahas masalah perikanan, suara mereka sering tenggelam oleh kepentingan kelompok-kelompok yang lebih berkuasa.
Nelayan miskin di Indonesia sangat bergantung pada hasil laut sebagai satu-satunya sumber mata pencaharian utama.
Namun, ketergantungan ini membawa mereka pada ketidakpastian yang besar. Beberapa faktor yang mengarah pada ketidakpastian tersebut selain perubahan iklim dan kerusakan ekosistem laut adalah persaingan dengan industri perikanan besar.
Praktik ekspansi industri perikanan dengan menggunakan kapal besar dan alat tangkap modern yang mampu menangkap ikan dalam jumlah besar, mengancam mata pencaharian nelayan tradisional yang hanya mengandalkan perahu kecil dan alat tangkap sederhana.
Dengan kata lain, nelayan harus bersaing dengan kekuatan pasar yang dikuasai oleh korporasi besar, yang memiliki modal dan teknologi yang jauh lebih canggih.
Diperlukan evaluasi besar atas kebijakan negara terkait pemberdayaan masyarakat pesisir dan industri perikanan yang menyertainya.
Kebijakan pembangunan di Indonesia sering kali lebih fokus pada sektor-sektor yang menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi nasional, seperti industri besar dan infrastruktur, tanpa memikirkan dampaknya bagi sektor tradisional dan masyarakat marginal seperti nelayan.
Ketika pemerintah memperkenalkan kebijakan yang menguntungkan sektor perikanan skala besar, investasi atau proyek reklamasi, mereka sering kali mengabaikan dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat pesisir.
Penutup
Di balik glorifikasi pembongkaran pagar laut masih ada ketimpangan struktural yang dalam, di mana sistem kapitalisme, kebijakan pembangunan yang bias, dan kerusakan lingkungan saling berkontribusi pada pemiskinan masyarakat pesisir dan nelayan.
Dengan pendekatan yang lebih inklusif, berbasis keadilan sosial, dan berfokus pada keberlanjutan ekosistem serta kesejahteraan masyarakat pesisir, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih adil bagi nelayan.
Namun, perubahan ini hanya bisa terjadi jika kita berani mempertanyakan dan mengkritisi struktur yang ada, serta bekerja untuk menciptakan sistem yang lebih berpihak pada mereka yang terpinggirkan.
Pembongkaran pagar laut adalah langkah kecil untuk memulai perubahan besar di kawasan pesisir dan Indonesia secara keseluruhan.*
Referensi:
https://www.kompas.id/baca/opini/2023/10/31/peluang-ekonomi-desa-pesisir
Najib, Muhammad Ainun., Nurjannah, Siti., Parama, I Dewa Made Satya. 2024. Menyingkap realitas kemiskinan pada masyarakat pesisir di Desa Kuranji Dalang Kecamatan Labuapi Kabupaten Lombok Barat. Proceeding Seminar Nasional Mahasiswa Sosiologi. Vol. 2, No. 1, hal. 69-88.
Vibriyanti, Deshinta. 2014. Kondisi sosial ekonomi dan pemberdayaan nelayan tangkap Kota Tegal, Jawa Tengah. Jurnal Kependudukan Indonesia. Vol. 9 No. 1, hal. 45-58.
Suryono, C. A., & Indardjo, A. (2023). Konsentrasi logam berat Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu) pada hasil tangkapan nelayan pesisir Semarang dan Tegal Jawa Tengah. Jurnal Kelautan Tropis. 26(1), hal. 155-162.
Mulyasari, Gita. 2020. Kemiskinan, kerentanan penghidupan, dan adaptasi nelayan terhadap perubahan iklim di wilayah pesisir Jawa Tengah dan Bengkulu. Disertasi. Universitas Gadjah Mada (UGM).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI