Sebagian besar tanah yang dikuasai oleh perusahaan besar, seperti perkebunan kelapa sawit, tambang, dan hutan tanaman industri (HTI), mengakibatkan banyak petani kecil dan masyarakat adat kehilangan hak atas tanah mereka.
Realitas itu mengarahkan kita kepada tingginya angka konflik akibat permasalahan lahan. Tahun 2020 saja, KPA mencatat ada 241 konflik agraria struktural yang berdampak terhadap lebih dari 135 ribu keluarga di 359 desa/kota (hukumonline.com, 2021).
Untuk memperluas pemahaman mengenai pengelolaan pertanahan melalui bank tanah, maka upaya membandingkannya dengan praktik di negara-negara lain yang relevan merupakan tindakan bijak yang perlu diambil.
Perbandingan dengan Negara Lain
Pembentukan Badan Bank Tanah di Indonesia dapat dibandingkan dengan inisiatif serupa yang ada di negara-negara lain, meskipun setiap negara memiliki latar belakang dan konteks sosial-politik yang berbeda.
1. Brazil: Reforma Agraria dan Banco da Terra
Brazil memiliki pengalaman serupa dengan Indonesia dalam hal ketimpangan tanah, dengan konsentrasi kepemilikan lahan yang sangat tinggi. Pada tahun 1995, pemerintah Brazil membentuk Banco da Terra (Bank Tanah) sebagai bagian dari kebijakan reforma agraria.
Tujuan utama dari Banco da Terra adalah untuk memfasilitasi redistribusi tanah kepada keluarga petani kecil dan masyarakat adat yang tidak memiliki akses terhadap tanah.
Bank Tanah di Brazil berfokus pada pembiayaan bagi keluarga petani untuk membeli tanah, serta menyediakan akses untuk pemberdayaan ekonomi dan sosial di kawasan pedesaan.
Pemerintah Brazil juga mengembangkan kebijakan ini untuk mengurangi konflik agraria dan ketegangan sosial yang sering muncul akibat ketimpangan penguasaan tanah.
Bank Tanah di Brazil berfungsi sebagai instrumen untuk meningkatkan keberagaman penggunaan lahan dan mendukung produksi pertanian yang ramah lingkungan.