Pengaturan bank tanah secara nasional melalui suatu badan khusus (sui generis) relatif baru, namun praktik bank tanah sebenarnya sudah ada sejak tahun 1980-an terkait kawasan industri di Jakarta dan Surabaya (kompas.id, 2023).
Pengaturan bank tanah tidak bisa dilepaskan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Untuk melaksanakan ketentuan pasal 135 UU Ciptaker tersebut diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah.
Sejak awal kelahirannya, Badan Bank Tanah (BBT) sudah menuai banyak kritik. Baik dari kalangan pegiat sosial hingga akademisi. Jurnal-jurnal ilmiah kritis terkait hal tersebut juga banyak berseliweran di selasar media sosial.
Mulai dari persoalan tumpang tindih kewenangan antarlembaga dalam bidang pertanahan dan watak liberal yang mengelilinginya berpotensi mengkhianati reforma agraria (Bening & Rafiqi, 2022); hingga kecurigaan pada kembalinya asas domein verklaring (Basri, 2022).
Kritikan, keraguan, kecurigaan, hingga penolakan terhadap keberadaan BBT, baik dari aspek kelembagaan maupun konsep, tidak terlalu berlebihan. Mengingat banyaknya fakta ketimpangan pemilikan lahan.
Ketimpangan Kepemilikan Lahan dan Konflik
Merujuk laporan BPS pada 1973 angka ketimpangan lahan yakni 0,55. Empat dekade kemudian atau pada 2013, angka ketimpangan lahan ada di angka 0,68. Sedangkan BPN 2022 menunjukkan level rasio gini pertanahan saat ini berada di kisaran 0,58.
Puncak ketimpangan lahan terjadi pada tahun 2003 dimana ketimpangan kepemilikan lahan sebesar 0,72 persen. Artinya hanya 1 persen rakyat yang menguasai 72 persen sumber daya lahan (Kompas.com, 2023).
Pada tahun 2016, rasio di atas dilaporkan berada di angka 0,58 dan pada tahun 2019 oleh USAID tercatat 0,57. Badan Pertanahan Nasional (BPN) melaporkan angka serupa pada tahun 2022.
Menurut Sensus Pertanian 2013, sekitar 55% rumah tangga petani di Indonesia adalah petani gurem yang menguasai kurang dari 0,5 hektar tanah (Kompas.id, 2024).