Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Sosial⎮Penulis⎮Peneliti

Masa muda aktif menggulingkan pemerintahan kapitalis-militeristik orde baru Soeharto. Bahagia sbg suami dgn tiga anak. Lulusan Terbaik Cumlaude Magister Adm. Publik Universitas Nasional. Secangkir kopi dan mendaki gunung. Fav quote: Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Menyulam Kata, Menghidupi Cinta

17 Januari 2025   23:54 Diperbarui: 17 Januari 2025   23:54 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ayahmu akan menulis buku suatu hari nanti," begitu kata Maya kepada anak-anaknya disuatu malam. "Nanti kalau Ayah sudah dapat uang, kita jalan-jalan ya, Bun!", ujar anak tertua kepada Maya sambil menarik selimut bersiap tidur.

Maya dan kedua anaknya tidur berhimpitan berbagi bantal dan matras tipis. Lelapnya sambil memeluk keyakinan bahwa Ayahnya akan terus berjuang meski dunia kadang tampak tidak adil.

Waktu sudah menunjuk pukul 22.30. Sebatang rokok menemani Arman yang duduk di beranda rumah. Iringan musik pesisir Jawa yang mendayu menyayat hati itu, terdengar lirih dari tetangga sebelah. Sejenak lamunannya melayang bahkan tak mau ditawar. Sore tadi empunya rumah kontrakan datang menagih sewa.

"Mas, jangan kayak kemarin ya, udah telat dicicil pula".

Diisapnya lagi asap rokok itu, kali ini lebih dalam dari sebelumnya. Embusannya selaras dengan penat yang sudah lama terpendam. Arman, pria dua anak yang baru saja kehilangan pekerjaan.

Kehidupan sebagai seorang penganggur bukanlah pilihan. Kerja tulis menulis menjadi pilihan terakhirnya untuk menghidupi kedua anak dan istrinya.

Dengan setiap kalimat yang ditulisnya, ia berusaha membangun jembatan antara impian dan kenyataan. Ia tahu bahwa setiap kata bisa menjadi sumber penghidupan, meskipun kadang terasa seperti menembus kabut tebal tanpa arah tujuan yang pasti.

Di atas meja kayu yang sudah usang, ia membuka buku catatan dan mulai menulis. Kadang ia menulis tentang mimpi-mimpi anak-anaknya, tentang tawa mereka yang mengisi ruang kosong di rumah, dan tentang cinta yang tak pernah pudar meski keadaan semakin sulit.

Arman sadar, penghasilannya dari tulis menulis tidak akan membuatnya kaya raya, apalagi melampaui harta benda seorang Raffi Ahmad.

Namun, seperti kaum Adam lainnya, Arman punya daftar panjang resolusi kehidupan. Pria mana yang enggan memiliki sebuah rumah kecil nan asri dengan sepetak taman bunga, tempat dimana anak dan istri berlarian kegirangan dibawah rintik hujan?!

Begitulah. Laki-laki memang tak pernah jera bermimpi.

Tentu saja, tidak semua hari berjalan mulus. Ada saat-saat ketika Arman merasa putus asa. Tagihan yang menumpuk, kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi, dan beban tanggung jawab sebagai kepala keluarga sering kali menghimpitnya. Namun, ia tidak pernah membiarkan rasa putus asa itu mengalahkan semangatnya.

Setiap kali anak-anaknya bertanya tentang masa depan, Arman hanya tersenyum dan berkata, "Ayah sedang menyiapkan sesuatu yang istimewa." Dalam hatinya, ia berjanji untuk tidak kehilangan harapan.

Arman mungkin tak seberuntung rekan sebayanya yang lincah berselancar kanan-kiri sambil membaca peluang posisi berlimpah laba. Arman terlalu mencintai semua pekerjaan yang dibebankan pada dirinya tanpa berpikir untung-rugi. Sebuah sikap yang langka di sebuah zaman dimana pragmatisme adalah raja diatas mazhab keikhlasan.

Tidak ada waktu untuk meratapi mimpi yang sudah terlanjur terbunuh.

Menjadi penulis bukanlah jalan yang mudah. Namun, setiap kali ia melihat senyum anak-anaknya atau mendengar tawa mereka bermain di halaman rumah, semangatnya kembali membara. Ia tahu bahwa setiap kata yang ditulisnya adalah langkah menuju masa depan yang lebih baik.

Maya selalu menjadi pendukung setia. Ia sangat mempercayai suaminya. "Kita bisa melewati ini bersama," katanya dengan lembut setiap kali Arman merasa putus asa. Dukungan Maya menjadi cahaya dalam kegelapan perjuangan mereka.

Arman akhirnya bertemu dengan seorang kawan lama. Dia mengajak Arman untuk membantunya menulis sebuah buku. Tanpa berpikir panjang, Arman langsung menerimanya. Bahkan Arman tak pernah menanyakan besaran keuntungan yang akan dia dapat.

Begitulah Arman.

Dia adalah pemilik semua mimpi-mimpi yang tertunda. Terbengkalai di pojok kamar kontrakan yang sudah jatuh tempo. Ditimbuni setumpuk tagihan. Dan dosa-dosa yang tidak pernah dia perbuat.

Ketika sembilu menusuk kehidupan, sebahagian kita mungkin akan tersesat jalan, tak tahu kemana arah pulang. Lalu tenggelam dalam luka dan duka yang tak terperi.

Tapi Arman tetap mencoba kembali pulang kepada Maya dan kedua anaknya yang terkasih. Dia tak sudi diperolok keadaan. Kemudian dengan sisa-sisa harapan, pergi meninggalkan tembok ratapan untuk kembali menyusun mimpi-mimpi yang baru.

Menyulam kata, menghidupi cinta.

Begitulah seharusnya. Laki-laki memang mahluk yang tak jera bermimpi, untuk kemudian mengingat seluruh mimpi yang pernah coba didaki. Hingga kematian datang disuatu malam, siang, sore atau pagi.

Demi kematian, setidaknya kita semua tak perlu bermimpi. Lagi.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun