Begitulah. Laki-laki memang tak pernah jera bermimpi.
Tentu saja, tidak semua hari berjalan mulus. Ada saat-saat ketika Arman merasa putus asa. Tagihan yang menumpuk, kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi, dan beban tanggung jawab sebagai kepala keluarga sering kali menghimpitnya. Namun, ia tidak pernah membiarkan rasa putus asa itu mengalahkan semangatnya.
Setiap kali anak-anaknya bertanya tentang masa depan, Arman hanya tersenyum dan berkata, "Ayah sedang menyiapkan sesuatu yang istimewa." Dalam hatinya, ia berjanji untuk tidak kehilangan harapan.
Arman mungkin tak seberuntung rekan sebayanya yang lincah berselancar kanan-kiri sambil membaca peluang posisi berlimpah laba. Arman terlalu mencintai semua pekerjaan yang dibebankan pada dirinya tanpa berpikir untung-rugi. Sebuah sikap yang langka di sebuah zaman dimana pragmatisme adalah raja diatas mazhab keikhlasan.
Tidak ada waktu untuk meratapi mimpi yang sudah terlanjur terbunuh.
Menjadi penulis bukanlah jalan yang mudah. Namun, setiap kali ia melihat senyum anak-anaknya atau mendengar tawa mereka bermain di halaman rumah, semangatnya kembali membara. Ia tahu bahwa setiap kata yang ditulisnya adalah langkah menuju masa depan yang lebih baik.
Maya selalu menjadi pendukung setia. Ia sangat mempercayai suaminya. "Kita bisa melewati ini bersama," katanya dengan lembut setiap kali Arman merasa putus asa. Dukungan Maya menjadi cahaya dalam kegelapan perjuangan mereka.
Arman akhirnya bertemu dengan seorang kawan lama. Dia mengajak Arman untuk membantunya menulis sebuah buku. Tanpa berpikir panjang, Arman langsung menerimanya. Bahkan Arman tak pernah menanyakan besaran keuntungan yang akan dia dapat.
Begitulah Arman.
Dia adalah pemilik semua mimpi-mimpi yang tertunda. Terbengkalai di pojok kamar kontrakan yang sudah jatuh tempo. Ditimbuni setumpuk tagihan. Dan dosa-dosa yang tidak pernah dia perbuat.
Ketika sembilu menusuk kehidupan, sebahagian kita mungkin akan tersesat jalan, tak tahu kemana arah pulang. Lalu tenggelam dalam luka dan duka yang tak terperi.