"Ayahmu akan menulis buku suatu hari nanti," begitu kata Maya kepada anak-anaknya disuatu malam. "Nanti kalau Ayah sudah dapat uang, kita jalan-jalan ya, Bun!", ujar anak tertua kepada Maya sambil menarik selimut bersiap tidur.
Maya dan kedua anaknya tidur berhimpitan berbagi bantal dan matras tipis. Lelapnya sambil memeluk keyakinan bahwa Ayahnya akan terus berjuang meski dunia kadang tampak tidak adil.
Waktu sudah menunjuk pukul 22.30. Sebatang rokok menemani Arman yang duduk di beranda rumah. Iringan musik pesisir Jawa yang mendayu menyayat hati itu, terdengar lirih dari tetangga sebelah. Sejenak lamunannya melayang bahkan tak mau ditawar. Sore tadi empunya rumah kontrakan datang menagih sewa.
"Mas, jangan kayak kemarin ya, udah telat dicicil pula".
Diisapnya lagi asap rokok itu, kali ini lebih dalam dari sebelumnya. Embusannya selaras dengan penat yang sudah lama terpendam. Arman, pria dua anak yang baru saja kehilangan pekerjaan.
Kehidupan sebagai seorang penganggur bukanlah pilihan. Kerja tulis menulis menjadi pilihan terakhirnya untuk menghidupi kedua anak dan istrinya.
Dengan setiap kalimat yang ditulisnya, ia berusaha membangun jembatan antara impian dan kenyataan. Ia tahu bahwa setiap kata bisa menjadi sumber penghidupan, meskipun kadang terasa seperti menembus kabut tebal tanpa arah tujuan yang pasti.
Di atas meja kayu yang sudah usang, ia membuka buku catatan dan mulai menulis. Kadang ia menulis tentang mimpi-mimpi anak-anaknya, tentang tawa mereka yang mengisi ruang kosong di rumah, dan tentang cinta yang tak pernah pudar meski keadaan semakin sulit.
Arman sadar, penghasilannya dari tulis menulis tidak akan membuatnya kaya raya, apalagi melampaui harta benda seorang Raffi Ahmad.
Namun, seperti kaum Adam lainnya, Arman punya daftar panjang resolusi kehidupan. Pria mana yang enggan memiliki sebuah rumah kecil nan asri dengan sepetak taman bunga, tempat dimana anak dan istri berlarian kegirangan dibawah rintik hujan?!