Setelah penangkapannya, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado dan kemudian dipindahkan ke Makassar pada tahun 1833. Di Makassar, ia tinggal di Benteng Rotterdam di bawah pengawasan ketat Belanda.
Selama 25 tahun pengasingannya, meskipun hidup dalam keterbatasan, Diponegoro tetap produktif. Ia menyusun beberapa naskah penting, termasuk "Sejarah Ratu Tanah Jawa" dan "Hikayat Tanah Jawa," yang mencerminkan pemikirannya tentang sejarah dan budaya Jawa.
Kondisi kesehatan Diponegoro menurun seiring berjalannya waktu; ia menderita malaria yang mengganggu kesehatannya.
Namun, meskipun terasing dari tanah kelahirannya, ia tetap berpegang pada harapan untuk bertemu kembali dengan ibunya. Dalam surat-suratnya kepada ibunya, ia menyatakan kerinduan yang mendalam dan harapan untuk melihatnya Kembali.
Wafatnya Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro wafat pada tanggal 8 Januari 1855, dua tahun setelah ibunya meninggal dunia.
Banthengwareng, pengiring setia Diponegoro menjadi sahabat satu-satunya yang menemani hingga akhir hayat. Setelah Diponegoro wafat, Banthengwareng juga meninggal dua tahun kemudian dan dimakamkan di dekat makam Diponegoro.
Sebelum Diponegoro mengembuskan nafas terakhirnya, ia meminta agar dirinya dan keluarganya tidak dipulangkan ke Jawa, melainkan dimakamkan di Makassar. Permintaan ini menegaskan komitmennya terhadap tanah tempat ia diasingkan.
Keturunan kelima Diponegoro menyatakan bahwa keputusan tersebut merupakan bentuk pengabdian dan cinta Pangeran terhadap tanah airnya.
Perang yang Tetap Melegenda dan Membawa Inspirasi
Perlawanan Pangeran Diponegoro tetap relevan dalam konteks sejarah modern karena beberapa alasan yang mendalam, yang mencakup aspek politik, sosial, dan budaya.