Suap, pungutan liar, pemerasan, penyalahgunaan wewenang merupakan perilaku yang sangat vulgar kala itu. Banyak bupati hidup dalam kemewahan seperti raja kecil, sementara rakyat menderita akibat praktik-praktik korup tersebut.
Perilaku lancung yang sangat akrab sampai di era modern. Isu korupsi dan ketidakadilan sosial tidak banyak berubah selama dua abad, dan tetap menjadi masalah mendasar dalam hubungan antara penguasa dan rakyat.
Kemiskinan dan Kelaparan Ekstrem
Praktik korupsi di pemerintahan Hindia Belanda sebelum Perang Jawa menunjukkan bagaimana sistem kolonial menciptakan peluang bagi penyelewengan kekuasaan.
Korupsi ini tidak hanya merugikan rakyat tetapi juga menjadi faktor kunci dalam memicu konflik bersenjata, seperti Perang Jawa.
Dampak terburuk dari perilaku korupsi pemeritahan Hindia Belanda dan para pejabat lokal di tanah Jawa adalah kemiskinan dan kelaparan.
Sebelum meletusnya perang, rakyat Jawa mengalami kemiskinan yang parah akibat kebijakan kolonial Belanda yang menekan ekonomi lokal.
Monopoli cukai dan pengenaan pajak yang tinggi menyebabkan banyak petani kehilangan lahan dan sumber penghidupan mereka.
Tahun 1821, wabah kolera melanda Jawa, 120.000 hingga 150.000 orang tewas. Wabah ini memperburuk kondisi kesehatan masyarakat yang sudah lemah akibat kelaparan dan gagal panen.
Kekeringan ekstrem yang terjadi pada awal tahun 1821 menyebabkan gagal panen di banyak daerah, terutama di selatan Pacitan, di mana sawah-sawah terbengkalai karena kekurangan air.
Bukan beras, bukan juga umbi-umbian yang dimakan. Rakyat terpaksa mengandalkan makanan dari akar-akaran dan daun-daunan.