Latar Belakang Perang Diponegoro
Perang Diponegoro dimulai sebagai reaksi terhadap tindakan pemerintah kolonial Belanda yang merampas tanah milik Pangeran Diponegoro dan menyengsarakan rakyat melalui pajak yang tinggi.
Sebagian sejarawan menuding perilaku koruptif dan kondisi ekonomi yang sangat buruk sebagai sumber utama konflik bersenjata.
Perang Diponegoro dipicu oleh berbagai faktor, termasuk ketidakpuasan terhadap kebijakan kolonial Belanda yang menindas dan campur tangan mereka dalam urusan kerajaan.
Salah satu insiden yang memicu kemarahan Pangeran Diponegoro adalah pemasangan patok untuk pembangunan rel kereta api di atas makam leluhurnya di Tegalrejo.
Tindakan ini dianggap sebagai penghinaan dan pelanggaran terhadap adat istiadat setempat, yang membuatnya bertekad untuk melawan.
Diponegoro mengorganisir perlawanan dengan menggalang dukungan dari berbagai kalangan, termasuk petani dan priyayi. Ia juga dibantu oleh tokoh-tokoh penting seperti Kyai Mojo, yang berperan sebagai pemimpin spiritual dalam pergerakan tersebut.
Strategi gerilya yang diterapkan selama perang memungkinkan pasukan Diponegoro untuk menghadapi tentara Belanda yang jauh lebih besar dalam hal jumlah dan persenjataan.
Perang ini berlangsung selama lima tahun dan mencakup berbagai daerah di Jawa. Meskipun Pangeran Diponegoro berhasil meraih beberapa kemenangan awal, pada akhirnya, pasukan Belanda menggunakan strategi benteng untuk mengepung dan menangkapnya.
Pada 28 Maret 1830, Diponegoro menyerahkan diri setelah negosiasi untuk membebaskan sisa anggotanya. Kemudian diasingkan ke Manado dan Makassar hingga wafat pada 8 Januari 1855 di Benteng Rotterdam.
Pengasingan dan Kehidupan Terakhir