Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Sosial⎮Penulis⎮Peneliti

Masa muda aktif menggulingkan pemerintahan kapitalis-militeristik orde baru Soeharto. Bahagia sbg suami dgn tiga anak. Lulusan Terbaik Cumlaude Magister Adm. Publik Universitas Nasional. Secangkir kopi dan mendaki gunung. Fav quote: Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Elegi Januari

1 Januari 2025   14:39 Diperbarui: 1 Januari 2025   14:39 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dok. Pribadi

ELEGI JANUARI

***

Kepada lelaki dan perempuan nir-pekerjaan yang duduk di tepian selokan, aku tak lagi sanggup menuliskan kata-kata gegap gempita. Aku juga enggan menyusun syair-syair ratapan. Namun, keyakinan itu tak berubah: Tak sudi diolok-olok kehidupan.

Meretas kemiskinan memang tak semudah yang kita sangkakan. Sungguh tak enak hidup dari sedekah belas kasihan orang. Begitu banyak utang kebaikan yang harus dibalas.

Bagi sebahagian lelaki, kehilangan pekerjaan merupakan pertanda separuh hilangnya harga diri. Tubuhnya terlunta di pinggiran jalan, tersengat panas terik matahari dan menipisnya harapan untuk hidup yang lebih baik.

Kita baru saja keluar dari derita wabah yang meluluh-lantakan. Separuh kaki mulai mencoba bangkit. Sungguh lacur semua kebutuhan hidup melonjak naik, padahal luka-luka itu belum juga kering.

Aku pernah menjadi bunga, dengan satu keyakinan tembok-tembok tirani pasti tumbang. Aku pernah menjadi peluru, yang tajamnya menembus barisan tentara begundal penjaga lahan tuan feudal.

Aku pernah menjadi kata-kata, yang merobek-merobek setiap lembar narasi palsu penguasa. Aku juga pernah muda, dengan darah membara siap membakar apa saja yang usang.

Tapi aku tidak akan pernah menjadi kalian, yang hidup dalam kemewahan dengan menjual-belikan sejarah tulang belulang kawan.

Bersabar sayang. Jangan hilang harapan.

Ya! Tadinya aku punya banyak mimpi untuk ku ceritakan kepada seperempat malam. Mendaki hingga mimpi tertinggi. Jatuh dan bermimpi lagi. Begitu seterusnya. Lelaki memang mahluk idealis yang tak pernah jera bermimpi.

Mengutuki waktu yang enggan diputar kembali. Tak sedikit suka yang tertunda. Ratapan semangat tak pernah berhenti, dia selalu datang di depan pintu rumah, mengetuk nurani menceritakan kesedihan tiada tepi.

Takdir sudah digariskan, teruslah membersamai tiap-tiap air mata yang jatuh deras di atas tanah-tanah perjuangan. Menapaki pulau-pulau baru kemerdekaan.

Ah! Tak biasanya malam datang begitu tiba-tiba.

Aku bahkan belum sempat mengucapkan selamat malam. Menciumi kening mu. Dan bercerita tentang kejayaan Nusantara, seperti malam-malam sebelumnya mengantarkan kau tidur.

Waktu ku mungkin tak sebanyak waktu mu. Kelak kita merdeka dan pasti tiba saatnya. Ceritakanlah semuanya itu, nanti di pinggir kubur ku.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun