***
Kepada lelaki dan perempuan nir-pekerjaan yang duduk di tepian selokan, aku tak lagi sanggup menuliskan kata-kata gegap gempita. Aku juga enggan menyusun syair-syair ratapan. Namun, keyakinan itu tak berubah: Tak sudi diolok-olok kehidupan.
Meretas kemiskinan memang tak semudah yang kita sangkakan. Sungguh tak enak hidup dari sedekah belas kasihan orang. Begitu banyak utang kebaikan yang harus dibalas.
Bagi sebahagian lelaki, kehilangan pekerjaan merupakan pertanda separuh hilangnya harga diri. Tubuhnya terlunta di pinggiran jalan, tersengat panas terik matahari dan menipisnya harapan untuk hidup yang lebih baik.
Kita baru saja keluar dari derita wabah yang meluluh-lantakan. Separuh kaki mulai mencoba bangkit. Sungguh lacur semua kebutuhan hidup melonjak naik, padahal luka-luka itu belum juga kering.
Aku pernah menjadi bunga, dengan satu keyakinan tembok-tembok tirani pasti tumbang. Aku pernah menjadi peluru, yang tajamnya menembus barisan tentara begundal penjaga lahan tuan feudal.
Aku pernah menjadi kata-kata, yang merobek-merobek setiap lembar narasi palsu penguasa. Aku juga pernah muda, dengan darah membara siap membakar apa saja yang usang.
Tapi aku tidak akan pernah menjadi kalian, yang hidup dalam kemewahan dengan menjual-belikan sejarah tulang belulang kawan.
Bersabar sayang. Jangan hilang harapan.