Era Revolusi Industri 4.0 ditandai dengan perkembangan Artificial intelligence (AI) yang telah menjadi salah satu pilar utama dalam kemajuan teknologi di seluruh dunia. Bagaimana dampaknya terhadap nilai-nilai nasionalisme?
Pengembangan AI dimulai pada tahun 1950-an oleh John McCarthu, Marvin Minsky, dan para ilmuwan lainnya di Massachuassets Institute of Technology (MIT), awalnya tentu tidak melibatkan aspek nasionalisme. Konsep itu baru belakangan muncul.
Perlombaan untuk menguasai teknologi ini tidak hanya melibatkan negara-negara maju, tetapi juga negara-negara berkembang yang berusaha untuk mengejar ketertinggalan.
Dalam konteks ini, nasionalisme berperan penting dalam membentuk strategi dan kebijakan pengembangan AI di masing-masing negara. Khususnya Indonesia.
AI sebagai Alat Penguatan Nasionalisme
Kecerdasan buatan memiliki potensi besar untuk memperkuat rasa nasionalisme. Dengan memanfaatkan AI, masyarakat dapat lebih mudah mengakses informasi tentang sejarah, budaya, dan nilai-nilai kebangsaan mereka.
Misalnya, AI dapat digunakan untuk mengembangkan aplikasi edukasi yang membantu generasi muda memahami identitas nasional mereka.
Namun, tantangan muncul ketika AI digunakan untuk menyebarkan informasi yang dapat memecah belah masyarakat atau mengubah persepsi tentang identitas bangsa.
Tantangan lainnya yang tidak kalah bahayanya adalah kapitalisme AI. Setiap upaya untuk memupuk kekayaan pribadi secara ugal-ugalan dan tak terkendali dengan mengorbankan kelas pekerja dan kaum marhaen secara masif.
Nasionalisme AI harus menentang keras apa yang disebut dengan "Ultra-nasionalisme" yang chauvinistik. Fanatisme kebangsaan yang berlebihan. Yang mengagung-agungkan bangsa atau negara sendiri dan menganggap rendah bangsa lain.