Saya peringatkan! Cerita ini mungkin membosankan buat sebagian kalian. Abaikan. Buang ke selokan. Namun, jika menarik buatmu, pergilah ke dapur dan seduh secangkir kopi.
O iya, jika Anda menduga artikel ini memuat motivasi terselubung saya kepada Presiden, maka Anda salah besar. Karena lidah saya tidak terlalu lihai untuk membual. Anda paham yang saya maksud, bukan?
Cerita ini saya tulis sebagai refleksi masa lalu di tengah-tengah kegaduhan politik republik hari ini. Sebagian isi cerita mungkin relevan dengan Anda, namun percayalah di sepanjang selasar media sosial masih banyak cerita lainnya yang memberi kepada Anda inspirasi yang luar biasa.
Baiklah, hentikan basa basi! Kita mulai saja cerita ini.
Pada medio tahun 2008, saya kembali ke kota kelahiran tercinta, Jakarta. Setelah hampir 15 tahun mencoba bertahan hidup dan merantau sambil menyelesaikan kuliah disebuah kota kecil di wilayah Jawa Timur.
Nasib jalan kehidupan memang tidak bisa ditentukan. Selama di Ibu Kota, saya bertemu (lagi) dan berkomunikasi secara intens dengan banyak aktivis 'senior' yang sebelumnya sudah hijrah ke Jakarta. Saya cukup mengenal baik mereka. Nama-nama yang sudah sangat melegenda di kalangan pergerakan.
Kebetulan waktu itu berdekatan dengan momentum pemilu 2009. Banyak partai baru yang bermunculan seperti cendawan dimusim hujan. Tercatat ada 51 Partai politik peserta Pemilu 2009 yang lolos verifikasi administratif KPU.
Ada 16 partai lama yang otomatis ikut Pemilu 2009, dan 35 partai baru harus menghadapi verifikasi faktual.
Dari sekian banyak aktivis senior yang berdiskusi tersebut, salah satunya berafiliasi dengan partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Diskusi kami sangat intens terutama pembahasan mengeni program-program kerakyatan, strategi-taktik, pemberdayaan masyarakat, penguatan gerakan buruh, pembentukan Bank Tani, biaya haji dan umroh, sistem outsourcing, BUMN sebagai lokomotif perekonomian, dan lain sebagainya.
Intinya adalah soal kemandirian bangsa. Sebuah diskusi yang sangat berkualitas dan memantik semangat patriotisme kepada siapa saja yang masih mencintai Indonesia.
Sejak saat itulah, saya yang saat itu hanya seorang aktivis lokal mulai tertarik dengan hiruk-pikuk politik nasional.
Saya mulai aktif dan bersemangat bergabung dengan Gerindra, yang waktu itu nama Prabowo bahkan belum muncul di dalam susunan kepengurusan, baik di jajaran Dewan Pembina, Penasehat, apalagi sebagai Ketua Umum.
Singkat cerita di tahun 2009, untuk pertama kali nya saya bertemu secara langsung dengan Prabowo Subianto. Saya menyapanya dengan Mas Bowo. Beberapa kali, beliau Nampak muncul di Kantor DPP Gerindra di daerah Brawijaya, Jakarta Selatan.
Kesan pertama saat itu adalah, "Dia seorang manusia yang tidak mudah menyerah dengan nilai-nilai perjuangan dan segudang kebaikan." Batin saya kemudian spontan berucap, "Ini manusia berhati Nabi."
Bagi sebagian orang mungkin kalimat itu dipahami hanya sekadar motivasi diri belaka, atau sekadar bunga-bunga pemanis kehidupan.
Namun, tidak bagi Mas Bowo. Dia sungguh-sungguh manusia teguh, keras pada pendirian, dan pantang menyerah. Dia seorang yang tidak mau didikte oleh siapapun.
Hal itu diterapkannya dalam kehidupan kepartaian sehari-hari. Tak heran, Partai Gerindra berubah menjadi sebuah kekuatan elektoral di republik sampai hari ini.
Mas Bowo yang saya kenal, ikhlas dalam setiap tugas. Pengabdian demi bangsa dan negara adalah segala-galanya bagi Mas Bowo. Bahkan andai dia diberikan dua nyawa dari Tuhan, maka dia juga akan merelakan semuanya demi bangsa dan negara.
Mas Bowo yang saya kenal, hatinya selalu menangis jika melihat rakyatnya kesusahan secara ekonomi. Itulah yang menyebabkan Mas Bowo sangat senang membantu anak-anak sekolah yang ada disekitar kediamannya di Hambalang.
Di bus sekolah itu yang selalu menjemput dan mengantar pulang siswa siswi sekolah dasar tersedia sekotak susu dan makanan ringan untuk sarapan anak-anak.
Setiap hari. Sekali lagi, setiap hari! Tak terbilang banyaknya kebaikan yang tidak pernah terliput oleh sorotan dan gemerlap lampu televisi.
"Manusia berhati Nabi", sekali lagi batinku bergumam.
Jiwa pejuang yang tak pernah mati. Tak lekang oleh waktu. Tak pernah berkarat. Mas Bowo selalu bersinar disetiap kemenangan, bahkan kekalahan sekalipun. Anda bisa bayangkan, memimpin orang-orang yang digilas kekalahan tentu mengandung kadar kerumitan yang tak gampang. Berlipat kesulitan.
Di tengah-tengah kesedihan dan penderitaan yang merangsek tanpa kenal ampun itu, Prabowo mengucapkan kata-kata indah yang akan dikenang oleh sejarah, 'becik ketitik olo ketoro.' Sebuah pepatah Jawa, artinya kurang lebih demikian: yang baik akan kelihatan dan yang buruk akan tampak.
Kemudian hari ini, di tengah riuh-gaduh politik nasional, saya bertanya dalam hati, inikah persepsi oligarki yang dituduhkan kepada seorang Prabowo Subianto? Manusia serakah; tidak peduli pada kemanusiaan; menumpuk harta demi kepentingan pribadi; memperbanyak proyek dan mudah mengampuni koruptor; Perusak demokrasi langsung, dan seterusnya.
Bagi manusia yang masih memiliki hati dan akal sehat, tentu punya segudang jawaban dan argumentasi tentang tuduhan itu. O iya, terkait tuduhan oligarki serakah terhadap seorang Prabowo, saya akan ulas dalam tulisan saya berikutnya.
Tetapi, sekali lagi, Prabowo yang saya kenal...adalah manusia dengan setulus-tulusnya dan seikhlas-ikhlasnya mengabdikan jiwa dan raganya buat rakyat, bangsa dan negara.
Seorang manusia yang teguh dalam nilai-nilai perjuangan dan pantang menyerah sampai ajal menjemputnya. Tak terbantahkan.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H