Intinya adalah soal kemandirian bangsa. Sebuah diskusi yang sangat berkualitas dan memantik semangat patriotisme kepada siapa saja yang masih mencintai Indonesia.
Sejak saat itulah, saya yang saat itu hanya seorang aktivis lokal mulai tertarik dengan hiruk-pikuk politik nasional.
Saya mulai aktif dan bersemangat bergabung dengan Gerindra, yang waktu itu nama Prabowo bahkan belum muncul di dalam susunan kepengurusan, baik di jajaran Dewan Pembina, Penasehat, apalagi sebagai Ketua Umum.
Singkat cerita di tahun 2009, untuk pertama kali nya saya bertemu secara langsung dengan Prabowo Subianto. Saya menyapanya dengan Mas Bowo. Beberapa kali, beliau Nampak muncul di Kantor DPP Gerindra di daerah Brawijaya, Jakarta Selatan.
Kesan pertama saat itu adalah, "Dia seorang manusia yang tidak mudah menyerah dengan nilai-nilai perjuangan dan segudang kebaikan." Batin saya kemudian spontan berucap, "Ini manusia berhati Nabi."
Bagi sebagian orang mungkin kalimat itu dipahami hanya sekadar motivasi diri belaka, atau sekadar bunga-bunga pemanis kehidupan.
Namun, tidak bagi Mas Bowo. Dia sungguh-sungguh manusia teguh, keras pada pendirian, dan pantang menyerah. Dia seorang yang tidak mau didikte oleh siapapun.
Hal itu diterapkannya dalam kehidupan kepartaian sehari-hari. Tak heran, Partai Gerindra berubah menjadi sebuah kekuatan elektoral di republik sampai hari ini.
Mas Bowo yang saya kenal, ikhlas dalam setiap tugas. Pengabdian demi bangsa dan negara adalah segala-galanya bagi Mas Bowo. Bahkan andai dia diberikan dua nyawa dari Tuhan, maka dia juga akan merelakan semuanya demi bangsa dan negara.
Mas Bowo yang saya kenal, hatinya selalu menangis jika melihat rakyatnya kesusahan secara ekonomi. Itulah yang menyebabkan Mas Bowo sangat senang membantu anak-anak sekolah yang ada disekitar kediamannya di Hambalang.