Perusahaan di Indonesia Terdampak Covid-19 Mei 2020
Sumber: International Labour Organization
Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) secara nyata telah mengganggu aktivitas ekonomi dan membawa implikasi besar bagi perekonomian sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan menurun dari 3% (tiga persen) menjadi hanya 1,5% (satu koma lima persen) atau bahkan lebih rendah dari itu. Perkembangan pandemi Covid-19 juga berpotensi mengganggu aktivitas perekonomian di Indonesia. Salah satu implikasinya berupa penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan dapat mencapai 4% (empat persen) atau lebih rendah, tergantung kepada seberapa lama dan seberapa parah penyebaran pandemi Covid-19 mempengaruhi atau bahkan melumpuhkan kegiatan masyarakat dan aktivitas ekonomi.
Di Indonesia, berbagai kebijakan untuk mengurangi dan menghentikan pandemi ini dilakukan oleh pemerintah, diantaranya social distancing, physical distancing, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), dan larangan untuk berpergian (mudik). Kebijakan ini bermanfaat untuk ketahanan kesehatan masyarakat, namun pada sisi lain mempunyai dampak secara ekonomi yang signifikan bagi dunia industri di Indonesia. International Labour Organization (ILO) mencatat, pada Mei 2020 sebesar 65% dunia usaha di Indonesia menghentikan operasi perusahaannya karena terdampak Covid-19.Â
Terdapat sekitar 65% usaha di Indonesia terkena dampak langsung pandemi Covid-19. Sebanyak 2,6% perusahaan diketahui telah menyetop operasionalnya secara permanen serta sebanyak 62,6% juga berhenti sementara, 3% sudah kembali beroperasi. ILO memperkirakan potensi perusahaan kecil (kurang dari 10 orang karyawan) untuk bangkrut tiga kali lebih besar dari perusahaan menengah dan besar (diatas 50 orang karyawan) (Kusumastuti, 2020).
Dalam Pasal 102 Undang UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Saat melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja atau serikat buruh mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya. Saat melaksanakan hubungan industrial, pengusaha mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja atau buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.
Kepentingan pekerja tersebut patut untuk diperhatikan oleh pelaku usaha dalam melakukan tindakan PHK karena pekerja memiliki peran yang sangat besar didalam pelaku usaha menjalankan perusahaan guna mencapai keuntungan yang maksimal. Perusahaan tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya tanpa adanya pekerja dalam perusahaannya. Peran pekerja ini sangat penting keberadaannya dalam perusahaan, maka segala hak maupun kepentingan perusahaan wajib mendapat perlindungan secara hukum, khususnya dalam UU Ketenagakerjaan. Perlindungan hukum terhadap pekerja merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap hak serta kepentingan pekerja yang diatur melalui ketentuan hukum. Dengan demikian, perlindungan hukum terhadap pekerja tersebut sangat penting keberadaannya agar pelaku usaha tidak semena-mena melakukan PHK terhadap pekerja yang bekerja dalam perusahaannya.
Selain hal tersebut, imbas Pandemi Covid-19 ini berdampak juga pada mengurangi pekerja atau karyawan sehingga terjadi PHK para karyawan perusahaan. Hal ini karena menurunnya perekonomian yang berimbas pada lesunya sektor industri, yang menyebabkan perusahaan untuk melakukan efisiensi. Selain itu, sebagian lainnya ada yang tidak kena PHK tetapi dirumahkan tanpa dapat gaji. Ribuan pekerja tersebut tersebar di beberapa kota besar di Indonesia, khususnya di Jawa (Ridwan dan Nurhakim, 2020). International Labour Organization (ILO) memperkirakan bahwa sekitar 25 juta pekerjaan di dunia dapat hilang disebabkan oleh pandemi Covid- 19. Selanjutnya pada kuartal kedua tahun 2020 ILO memprediksi jam kerja seluruh pekerja akan menurun 10,5 persen atau setara dengan 305 juta pekerja penuh waktu dengan asumsi jam kerja penuh waktu adalah 48 jam perminggu. Menurut pemantauan ILO karena adanya tindakan karantina penuh atau parsial saat ini sudah berdampak pada hampir 2,7 milliar pekerja, yang sudah mewakili sekitar 81 persen tenaga kerja dunia. Dalam situasi saat ini, usaha diberbagai sektor ekonomi sedang menghadapi krisis ekonomi yang dapat mengancam operasi dan kesehatan mereka, terutama di antara perusahaan kecil, sementara jutaan pekerja rentan kehilangan pekerjaan dan pendapatan serta mengalami PHK.
Kerugian yang ditimbulkan menyebabkan banyaknya perusahaan melakukan PHK terhadap ribuan karyawan dan pemotongan upah menimbulkan permasalahan dalam hubungan industrial. Selain itu, ancaman kesehatan saat bekerja juga menjadi masalah karena tingkat penyebaran virus yang sangat cepat. Hal ini jika tidak ditanggapi dengan tepat, dapat menjadi ancaman bagi hubungan industrial di Indonesia. Hal ini berangkat dari teori pertumbuhan ekonomi akumulasi modal oleh Solow bahwa tingkat akumulasi modal fisik dan modal manusia dapat mempengaruhi tingkat steady state output per pekerja efektif. Persamaan tersebut juga secara eksplisit menunjukkan bahwa output per tenaga kerja efektif  ditentukan oleh investasi pada modal fisik dan modal manusia.
Hasil penelitian (Meliana dan Purba, 2020) tentang terjadinya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan penurunan pendapatan buruh/karyawan/pegawai selama masa PSBB di Indonesia menyebutkan bahwa prsentase PHK buruh/pegawai/karyawan di Indonesia pada akhir April 2020 sebesar 15,6 persen yang terdiri dari 1,8 persen PHK dengan pesangon dan 13,8 persen PHK tanpa pesangon. Kejadian PHK paling parah terjadi di sektor konstruksi karena seluruh korban PHK tidak mendapatkan pesangon. Keadaan yang parah juga terjadi pada sektor perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi. Pada sektor ini sekitar 26,1 persen pekerja yang terkena PHK tidak mendapatkan pesangon. Para korban PHK yang tidak mendapat pesangon ini umumnya berstatus sebagai pegawai tidak tetap atau karyawan kontrak yang upahnya berdasarkan output tertentu. Banyak tempat rekreasi yang tutup dan kegiatan kontruksi bangunan yang terhenti, sehingga karyawannya berhenti bekerja tanpa mendapatkan pesangon.
Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tertuang dalam Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menegaskan bahwa: "Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja". Jika segala upaya telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka maksud PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Pemerintah dalam situasi Pandemi Covid-19 meminta pengusaha tidak melakukan PHK, terutama di sektor-sektor yang rentan terdampak pandemi Covid-19.