Mohon tunggu...
Rahadi
Rahadi Mohon Tunggu... Guru - Ikhlas Sabar Tawakal

Rahadi pekerjaan guru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penjaja Kue Molen

8 September 2021   22:17 Diperbarui: 8 September 2021   22:27 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Molen, molen, molen...suara yang tidak asing terdengar di telingaku. Suara khas itu selalu terdengar di waktu sore hari. Ketika orang-orang sudah pulang dari aktivitas sehari-hari. Melepas penat setelah seharian bekerja mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Seperti yang aku lakukan duduk santai di kursi teras sambil menikmati secangkir teh buatan istri tercinta.

Molen, molen, molen...suara itu terdengar semakin kencang. Suara khas itu semakin dekat. Rupanya si penjaja kue molen itu sudah berada di depan pintu gerbang rumahku. Ternyata si penjual kue seorang anak kecil. Melihat posturnya dia seusia anak sembilan tahunan. Penampilannya sederhana. Dia memakai kaos oblong warna hitam dan celana kolor pendek warna biru. Kepalanya menyunggi wadah semacam baskom tempat kue jajanannya.

Si penjaja kue seakan tahu kalau si tuan rumah akan membeli kue dagangannya. Dengan sopan si penjaja kue menyapa." Asalamu`alaikum,Pak, " sapa penjaja kue dengan sopan. "Alaikum salam, " jawabku. " Kue molen, Pak," lanjut penjaja kue itu menawarkan jajanannya. Dia seakan tahu kalau tuan rumah akan membeli kue jajanannya. " Ya, sini masuk Nak, " jawabku sambil mempersilakan penjual kue itu naik ke teras rumahku.

Sebenarnya aku penasaran kepada penjual kue molen. 

Rasa penasaranku sudah lama muncul. Setiap mendengar suara molen, molen, molen. Pikiranku selalu terbayang masa kecil ku. Waktu itu aku masih duduk di kelas empat sekolah dasar. Ketika itu aku juga menjadi penjual es sindik. Dengan modal kemauan dan semangat tinggi kepengin membantu orang tua mendapatkan uang yang halal. 

Menjadi penjual es keliling aku jalani. Setiap hari setelah pulang sekolah, selesai ganti baju dan makan aku langsung mengambil es sindik daganganku. Setelah pamitan kepada simbok, aku berangkat. Dengan membawa dua termos es masing-masing berisi 40 es sindik. 

Kedua termos es itu aku bawa dengan cara dipikul. Pundak kiri ku memikul kedua termos. Tangan kiri ku memagangi pikulannya. Tangan kanan membunyikan kliningan. Sementara mulutku bersuara, es sindik, es sindik, es sindik. Jalan kaki berkeliling kampung menelusuri jalan desa.

" Maaf Pak. Jadi beli kue molen apa tidak?" tanya anak penjual kue molen mengagetkan aku. " Maaf, ya ya jadi beli," jawabku. " Kenapa bapak tadi termenung ? " tanya penjul kue molen penasaran. " Setiap mendengar suara kamu menjajakan kue molen, bapak selalu teringat masa kecil bapak. Waktu kecil seusia kamu bapak dulu juga pernah jualan. Hanya kalua kamu jualan kue molen bapak dulu jualan es sindik, sama seperti kamu berkeling  " jelasku.

" Siapa namamu Nak ? " tanyaku kepada penjual kue. " Sarko, Pak," jawabnya singkat. "Bapak pengin tahu, mau kan kamu bercerita ?" sambungku. " Aku tidak bisa cerita, Pak, " jawab Sarko polos. " Ya sudah, Sarko kamu jawab saja pertanyaan bapak ya. Mau khan ? " Tanyaku kembali. " Ya, Pak," Jawab Sarko singkat. "Berapa usiamu Nak ?" tanyaku kembali. " Sembilan tahun, Pak," jawab Sarko singkat. "Kamu sekolah apa tidak, Nak ?" tanyaku lagi. "Tidak, Pak," jawabnya pelan. Aku tertegun sejenak.

Anak seusia Sarko, semestinya masih sekolah. Usia Sembilan tahun seusia anak kelas tiga sekolah dasar. Namun Sarko tidak sekolah. Bahkan bekerja mencari nafkah dengan cara berjualan. Suatu hal yang jarang dialami anak-anak jaman sekarang ini.

" Sarko, kenapa kamu tidak sekolah ?" tanyaku kembali. Mendengar pertanyaku yang terakhir, Sarko tidak langsung menjawab. Dia malah diam tidak menjawab pertanyaanku. 

Raut wajahnya nampak sedih. Bola matanya berkaca-kaca. Bahkan mulai meneteskan air mata. Isak tangisnya pecah. Wajahnya dibasahi air mata yang terus menetes. Nampak kesedihan yang sangat mendalam. Akupun iba dan tidak tega melanjutkan pertanyaan penasaranku.

Anak seusia Sarko seharusnya bisa menikmati masa kecilnya dengan riang gembira. Bersekolah, bermain dengan teman-temannya seusianya. Namun dia tidak bersekolah, apalagi bermain, bahkan dia harus bekerja menjajakan kue mencari nafkah. Sungguh peristiwa langka yang dialami anak-anak sekarang.

Aku tidak tega melanjutkan pertanyaan kepada Sarko. Setelah reda dan tenang aku borong kue molennya. Aku minta alamatnya. Aku minta maaf. Sarko pun berpamitan dengan sopan. " Nak, Sarko kamu mau sekolah ?" tanyaku sambil berjabat tangan. "Mau, Pak," sahut Sarko penuh semangat. " Bagus, Nak,besok bapak ke rumahmu, bapak akan urus semuanya agar kamu bisa sekolah" lanjutku sambil menepuk-nepuk pundaknya.

Sarko menganggukan kepala. Wajahnya terlihat gembira. Sambil melangkah pergi, bibirnya tersenyum gembira. Aku pun menghela nafas panjang. Pikiranku melayang seolah memutar filem masa kecilnya dulu. Es sindik...es sindik...klining ...klining es sindik ...seribu dua..seribu dua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun