Raut wajahnya nampak sedih. Bola matanya berkaca-kaca. Bahkan mulai meneteskan air mata. Isak tangisnya pecah. Wajahnya dibasahi air mata yang terus menetes. Nampak kesedihan yang sangat mendalam. Akupun iba dan tidak tega melanjutkan pertanyaan penasaranku.
Anak seusia Sarko seharusnya bisa menikmati masa kecilnya dengan riang gembira. Bersekolah, bermain dengan teman-temannya seusianya. Namun dia tidak bersekolah, apalagi bermain, bahkan dia harus bekerja menjajakan kue mencari nafkah. Sungguh peristiwa langka yang dialami anak-anak sekarang.
Aku tidak tega melanjutkan pertanyaan kepada Sarko. Setelah reda dan tenang aku borong kue molennya. Aku minta alamatnya. Aku minta maaf. Sarko pun berpamitan dengan sopan. " Nak, Sarko kamu mau sekolah ?" tanyaku sambil berjabat tangan. "Mau, Pak," sahut Sarko penuh semangat. " Bagus, Nak,besok bapak ke rumahmu, bapak akan urus semuanya agar kamu bisa sekolah" lanjutku sambil menepuk-nepuk pundaknya.
Sarko menganggukan kepala. Wajahnya terlihat gembira. Sambil melangkah pergi, bibirnya tersenyum gembira. Aku pun menghela nafas panjang. Pikiranku melayang seolah memutar filem masa kecilnya dulu. Es sindik...es sindik...klining ...klining es sindik ...seribu dua..seribu dua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H