Mohon tunggu...
Rahadian Faiz Kurniawan
Rahadian Faiz Kurniawan Mohon Tunggu... Konsultan - Keterangan

Menulis adalah sebuah kenyamanan hati bagi saya ( asalkan tidak menyinggung orang lain ). Artikel Favorit : https://www.kompasiana.com/rahadianfaiz/5c4ffb1baeebe11a7416baa2/mana-yang-lebih-utama-perbaikan-jembatan-rusak-atau-upgrading-jembatan-yang-masih-layak

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mengapa PSK dan Pengguna Jasa Prostitusi Tidak Diberikan Sanksi Hukum Pidana?

8 Januari 2019   15:50 Diperbarui: 9 Januari 2019   14:36 4655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Headline news beberapa hari belakangan penuh dengan artikel-artikel yang membahas tentang kasus prostitusi online seorang artis berinisial VA. Praktek prostitusi direncanakan akan dilakukan di sebuah hotel yang berlokasi di kota Surabaya. 

Rumornya, VA di-booking oleh seorang pengusaha penambang pasir asal Jakarta, tetapi sampai saat ini identitasnya masih simpang siur alias belum pasti. Mau tahu tarif sekali kencan bersama VA? Menurut informasi tarifnya mencapai 80 Juta, mungkin nilai tersebut tidak berarti apa-apa bagi seorang pengusaha-pengusaha kaya dan sukses jaman sekarang.

Selain tarif, hal yang sering dijadikan bahan perbincangan adalah status saksi yang dilayangkan baik kepada VA maupun pelanggannya. Mereka dibebaskan dari jeratan hukum penjara dan hanya diwajibkan untuk lapor ke polisi seminggu 2 kali. 

Sedangkan sang mucikari, yang bertugas untuk mengatur pertemuan VA dan "tamunya", akan mendapatkan tindakan hukum pidana karena memang sudah ada Undang-Undang yang mengaturnya. Yang menjadi pertanyaan besar adalah, "mengapa pelaku dan pengguna jasa prostitusi tidak mendapatkan tindakan hukum pidana juga?". 

Hukum Tentang Prostitusi yang Berlaku di Indonesia

Bicara tentang Undang-Undang yang mengatur tentang praktek prostitusi di Indonesia, hal ini tertuang dalam KUHP pada pasal 296 yang berbunyi "Barang siapa yang mata pencahariannya dan kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah".

Selain itu, pekerjaan mucikari juga dibahas dalam pasal 506 KUHP yang berbunyi "Barang siapa sebagai mucikari (souteneur) mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun".

Dua pasal diatas hanya mengatur tentang sanksi pidana yang diberikan bagi mucikari, sedangkan sampai saat ini belum ada pasal yang bisa menjerat para pelaku prostitusi. Pengguna jasa prostitusi bisa saja diberikan tindakan hukum pidana melalui pasal 284 KUHP yang mengatur tentang Perzinahan. 

Tetapi, pasal tersebut tidak akan berlaku jika zina dilakukan atas dasar suka sama suka dan tanpa ada paksaan. Soal kasus prostitusi online, sang mucikari akan mendapatkan hukuman tambahan, karena melanggar undang-undang ITE tentang informasi dan transaksi elektronik. Hal ini membuktikan bahwa belum ada ketentuan khusus yang mengatur tentang hukum pidana bagi PSK dan pengguna jasa prostitusi.

Proses "Rehabilitasi" Bagi Pelaku Prostitusi

Jika kita bisa bandingkan, ada kemiripan antara kasus prostitusi dan narkoba. Kedua kasus ini sama-sama memberikan tindakan hukum bagi pengedar narkoba dan mucikarinya. Perbedaannya, dalam kasus narkoba, pemakainya bisa terbebas dari tindakan hukum pidana dengan syarat wajib melakukan proses rehabilitas sampai sembuh dari kecanduan obat terlarang itu. 

Sedangkan untuk kasus prostitusi, PSK dan pengguna jasanya dibebaskan dari tindakan pidana dengan syarat "hanya" wajib lapor ke polisi. Dalam hal ini, ada kemungkinan para pelaku prostitusi akan melakukan lagi perbuatannya karena merasa terlindungi, selama RUU yang akan menjerat mereka ke ranah hukum belum berlaku. 

Sebaiknya pemerintah juga memberikan tindakan rehabilitasi juga bagi para pelaku prostitusi, baik bagi PSK, mucikari serta pengguna jasa PSK. Rehabilitasi yang dimaksud adalah memberikan bimbingan agama, norma dan hukum serta psikologis. Bimbingan agama menjadi hal yang utama diberikan pada proses ini. Dengan memberikan pengetahuan tentang agama, harapannya para pelaku menyadari bahwa kegiatan prostitusi dilarang sehingga jera untuk melakukannya lagi. 

Semoga pemerintah segera memberlakukan undang-undang yang memberikan sanksi hukum bagi para pelaku kegiatan prostitusi, bukan hanya untuk mucikari saja. Tujuannya adalah agar para pelaku tidak mengulangi kegiatan prostitusi lagi dan lagi karena merasa aman dari jeratan hukum. Sebagai akibat belum adanya undang-undang tersebut, para PSK dengan mudah "menawarkan" dirinya sendiri, bahkan tanpa membutuhkan bantuan mucikari serta tidak takut akan mendapatkan sanksi pidana.

Semoga kasus prostitusi online ini, mengajarkan kita untuk menggunakan teknologi untuk hal-hal yang positif. Media sosial merupakan perantara bagi para mucikari-mucikari untuk menggaet para pelanggannya. 

Kita harus berhati-hati dan kuat menahan diri agar tidak tergoda untuk melakukan praktek prostitusi serta selalu berusaha untuk menyaring arus informasi yang beredar di internet. Jangan lupa mengingatkan ke orang lain tentang bahaya zina yang dilakukan melalui media prostitusi ,karena di luar sana banyak kasus para pelaku prostitusi yang tertular penyakit kelamin, bahkan lebih parahnya bisa terkena penyakit HIV / AIDS.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun