Novel Kelir ini, mengajak kita berkaca bagaimana politik bermain dalam keyakinan masyarakat kita. Politik menunggangi kepercayaan masyarakat  untuk melegitamasi kekuasaan. Dalam novel digambarkan melalui tokoh Sastro Reksi mantan Bupati.
Penceritaan dimensi politik dalam novel Kelir tidak banyak. Lebih banyak mengulas tentang Kejawen, Kapitayan, sebagai agama Budi, agama asli Jawa.
Informasi tentang Kejawen maupun Islam Kejawen diceritakan melalui mulut mahasiswi antropologi yang melakukan penelitian untuk tesisnya, Dyah Kusumawardhani kepada seorang pria Jawa. Paksi. Paksi adalah anak dari Hamoroto/ Suroto penerus Padepokan Sabdo Sejati Gunung Candil.
Sebenarnya alasan Hamoroto melakukan itu, agar Paksi memahami alasan dia menjadi penerus padepokan seiring posisi sebagai lelaki Jawa.
Meski Hamoroto sempat dikecewakan "keyakinannya" saat Sabda Palon dan Nayagenggong tidak muncul setelah 500 tahun pasca keruntuhan Majapahit, sesuai sumpah mereka yang dipercaya sebagai personifikasi Semar.
Awalnya Hamoroto adalah sosok yang meyakini ajaran "budi". Dia mencapai kutub orang Jawa yang menjadikan kejawen sebagai aliran kepercayaan, juga mencampuradukkan antara agama samawi dan praktik pemujaan.
Akhirnya Hamoroto berkeyakinan sebagai pemeluk agama samawi yang peduli dengan adat dan budaya Jawa.
Kewajiban orang tua Jawa  mewariskan budaya Jawa pada anaknya, "memaksanya" membuat rencana mengenalkan budaya Jawa ke Paksi. Sesuatu yang dia sendiri merasa tak mampu melakukannya.
Novel ini bagiku yang asli Jawa, menarik. Banyak menggunakan istilah Jawa. Saklek, klangenan, ngelangut, kepaten dan lain-lain. Cuma aku membayangkan kesulitan bagi orang-orang yang tidak tau istilah dalam Jawa. Mungkin bisa ditambahin di halaman terakhir, semacam glosarium.
Sebagai informasi budaya Jawa khususnya bagi orang luar Jawa, bolehlah menambah wawasan. Seperti sangkang paraning dumadi (hal 39), atau pun konsep lima syarat satria Jawa Wisma (rumah), Garwa (istri), Turangga (kuda), Kukila (burung) dan Curiga (pusaka).
 Lembaran Catatan