Berkomunitas, bak hidup di dunia kecil pergaulan sosial. Ada suka, ada duka. Ada seneng, ada nyesek. Termasuk berkomunitas di komunitas ragam passion para penulis #kompasianer di Kompasiana.Â
Foto cover "ngeri" di atas, sekadar pengingat saja, aku pernah "tampil beda" pada masa kuliah di kampus UGM era Orba dulu. Sebut aja teman-teman komunitas  Solmagon (Solidaritas Mahasiswa Gondrong)  hahaha. Tebak aku yang mana? Hehehe.
Itu awalan saja, untuk tulisan tema  berkomunitas. Jadi aku tak hendak bercerita banyak soal teman-teman masa laluku itu. Aku mau cerita tentang yang "kekinian" sekarang-sekarang saja. Biar gak panjang kali lebar.
Ya, mungkin, ini tulisan curhat. Jarang-jarang aku nulis curhatan ala emak-emak loor. HihiiiÂ
Biasanya nulis ala reporter. Ini sedikit cuilan cerita yang sebenarnya banyak. Capekkk tauk, kalau nulis panjang-panjang. Sementara kecanggihan AI (Artificial Intelligence ) sepertinya gak/ belum mampu mewakili suara hati. Ya gak seeh?
Aku lebih suka diperbincangkan verbal sambil ngemil dan ngopi misalnya. Ngemil pisang goreng celup kopi susu, konon nikmat tiada tara loor. Â Â
Ceritanya gak yang hepi-hepi saja, seperti yang (mungkin) banyak dituliskan teman-teman kompasianer lain. Ada duka-dukanya, tapi gak sampe mewek seeh. Dikit geleng-geleng kepala saja hahaha
Jadi sekali lagi, ini sekadar sharing pengalaman sebuah perspektif subyektif sebagai "orang dalam" salah satu admin komunitas di Kompasiana.
Tentu mengandung opini pribadi, tidak mutlak untuk disepakati. "Dipertengkarkan" secara ide, rasanya lebih baik, untuk memperoleh opini yang lebih baik, eh mengakomodir. Biar levelnya seperti filsuf Yunani, Socrates bilang, "orang-orang besar membicarakan ide". Â Eiiitdah. Â
Jadi teman-teman bolehlah nyimak dan baca "sekelumit" tulisan ini sampai habis. #GakMaksa
"Dunia Kecil" KomunitasÂ
Pemahamanku, komunitas itu bak miniatur dari dunia "besar" kehidupan sehari-hari.  Medium untuk mengejawantahkan pribadi kita sebagai homo socius atau makhluk sosial. Kita yang selalu ingin berinteraksi dengan orang lain.
Di dalamnya ada banyak orang dengan aneka ragam watak, kepribadian, dan kebiasaan yang unik dengan segala kekurangan serta kelebihannya. Dengan segala yang menyenangkan sekaligus menjengkelkan.
Oleh karenanya komunitas lazim terbentuk karena adanya kemiripan, kesamaan terkait hobi, kebiasaan, kepentingan  bahkan bisa jadi profesi (di luar  organisasi).
Atas dasar kesamaan minat berambut gondrong, aku masuk komunitasnya mahasiswa gondrong, waktu jaman Orba dulu.
Atas dasar kesamaan asal usul daerah, aku masuk dalam komunitas PAKARI, Paguyuban Keluarga Wonogiri.
Atas dasar kesamaan minat isu Aids, aku masuk di dalam komunitas jurnalistik Aids di masa itu.
Atas dasar ketertarikan pada traveling bangunan bersejarah, aku masuk dalam Komunitas Indonesia Hidden Heritage. Juga komunitas Kompasianer Traveler Kompasiana (Koteka) sebagai wadah kompasianer yang suka jalan-jalan.
Atas dasar kesamaan hobi fotografi, aku masuk dalam komunitas Photograper Bogor. Juga KAMPRET (Komunitas Hobi Jepret) yang dulunya merupakan komunitas di Kompasiana.
Atas dasar kesamaan menulis tema fiksi, aku  masuk dalam komunitas Fiksiana Community di Kompasiana, yang sekarang entah gimana kabarnya. Â
Atas dasar kesamaan menulis tema kuliner, aku membentuk komunitas Kompasianer Penggila Kuliner (KPK) di Kompasiana. Dan menjadi salah satu punggawa, hingga now.
Dan banyak contoh lain. Pasti di titik ini, teman-teman juga demikian, terlibat di banyak komunitas yang disukai.
Dasar pertimbanganku masuk dalam komunitas tentu saja karena suka bergaul. Menambah jaringan pertemanan, bersama-sama bisa menyalurkan hobi dengan "sesama minat", mendapatkan solusi terkait permasalahan dalam aktivitas passion, berbagi info, sekaligus lebih mudah membangun branding di passion yang sama. Dan banyak alasan lainnya.
Nah aku akan sharing tentang pengalaman berkomunitas, selama terlibat di habitatku, komunitas KPK, yang eksis sejak 2014 silam. Pengalaman 9 tahun sebagai punggawa di komunitas ini, rasanya banyak hal yang lebih sahih untuk diceritakan. Ya gak seeh? Meski gak bisa kutuliskan semua. Hehehe
Komunitas Kompasiana
Rerata kompasianer pasti udah tau, kalau Kompasiana memiliki komunitas bagi para penulismnya. Jumlahnya banyak, but aku sendiri juga gak tau pasti, ada berapa yaa hahaa. Â Coba cek dan itung aja dengan buka situsnya Temu Kompasiana ya.
kompasianer boleh join/ bergabung di komunitas yang disukai. Saranku seh sesuai passion menulis.
Nah salah satu komunitasnya adalah KPK. Ini komunitas yang mewadahi para penulis kuliner di Kompasiana. Kalau suka nulis kuliner bolehlah join ke Komunitas ini. Klik aja komunitasnya di SINIÂ ya.
Sosial medianya silahkan klik: Facebook, Instagram dan Twitter.
Semua informasi tentang kegiatan KPK baik yang daring maupun luring/ offline akan diumumkan di akun Temu dan sosmednya.
Salah satu kegiatan KPK Gerebek seperti video di bawah ini. Tonton ya.
Kompasianer bisa ikutan dengan mekanisme mendaftar. Belum banyak kegiatan. Kadang-kadang aja ada acara offline di sekitaran Jabodetabek. Maklum kulmin (kuliner admin) Â domisilinya di kawasan itu, jadi jangkauannya di area itu hehehe. Â
Sekilas info aja, KPK termasuk salah satu  komunitas Kompasiana yang  paling awal berdiri, yakni 24 September 2014. Selama rentang waktu sekian lama, ya biasa, kadang ada vakumnya. Tapi lumayanlah masih bertahan berkegiatan hingga kini, di saat komunitas lain seumuran, "mati suri". Hehehe Â
Yang Seneng, Yang Nyesek
Berkomunitas di Kompasiana tuh beda. Ada mitra yakni pihak Kompasiana. Â Ada enaknya karena ada kegiatan yang paling tidak disupport termasuk sponsor pendanaan, meskipun... ehem. Tentunya dengan rules yang ada. Â
Kompasianer khususnya yang tinggal di kawasan Jabodetabek cukup beruntung, seiring seringnya bertemu alias kopdar di acara Kompasiana seperti #Nangkring, dulu. Sekarang minim banget kalau gak mau dikatakan hampir gak ada.Â
Ya mungkin kebijakan Kompasiana berbeda strategi untuk masa sekarang. Wajar, namanya juga perusahaan profit.
Kegiatan kopdar  semacam itu memungkinkan saling mengenal dengan kompasianer lain lalu lanjut ke interaksi di kegiatan komunitas. Tak heran, kegiatan komunitas biasa peserta yang terlihat kompasianer yang sama. Yang rajin kopdar saja haha. Tapi ada baiknya, karena sudah mengenal secara pribadi duluan.
Tentang suka dukanya berkomunitas di Kompasiana, tentu saja banyak. Beraneka rupa manis dan asam terkait dengan dunia tulis menulis, sebagai kompasianer.
Aku catat, manfaat berkomunitas itu diantaranya:
- Menambah teman dan jaringan. Sudah pasti ini, karena dengan berkomunitas berpeluang membentuk ruang interaksi, daring maupun kegiatan kopdar. Menambah teman dari beragam profesi dengan dunia yang berbeda.
- Membangun personal branding seiring dengan meningkatnya motivasi menulis yang terpicu oleh pergaulan dalam lingkaran/ medan menulis bersama komunitas. Tahun 2013 -- 2015 aku aktif di komunitas Fiksiana Community. Komunitasnya fiksianer yang aku ikuti sebagai newbie menjadi kompasianer. Komunitas ini yang membuatku nyaman menulis fiksi bersama kompasianer lain, Conny, Desi, Langit, Granito, Bunsel, Fikritania, Â dan banyak lagi. Dari situlah aku terbranding sebagai fiksianer #LelakiFiksi, dengan K-Award Fiksianer2014 yang belakangan karam oleh branding Bozz Madyang setelah menggawangi KPK. Hahahaa.
- Lebih leluasa mengenal lebih dalam terkait tema tertentu sesuai komunitasnya. Misalnya di KPK akan semakin terpicu hal-hal terkait kuliner.
Kalau duka atau nyeseknya berkomunitas, dalam kedudukannya sebagai anggota komunitas (follower) sepertinya paling gesekan antar anggota komunitas yang lazim terjadi di kehidupan sehari-hari. Â Di luar itu, apa ya?
Namun kalau posisinya sebagai admin komunitas, aku rasa berbeda.
Manfaat lebihnya sebagai admin komunitas, memiliki ruang lebih besar untuk menuangkan ide dalam bentuk kegiatan. Memiliki peluang lebih dikenal banyak anggota komunitas dan komunitas lain. Â
Sebagai punggawa KPK, aku merasa lebih dikenal oleh komunitas di luar komunitas Kompasiana. Pernah diminta sebagai narsum soal kuliner mewakii KPK, atau mewakili kerjasama atas nama KPK. Memiliki otoritas getu. Di sisi lain lebih mudah  meningkatkan personal branding.
Nyeseknya, adalah sebagai admin aktif (bukan pasif) memikul tanggungjawab terhadap laju performa komunitas.
Sebagai motor penggerak, admin sangat penting perannya jika komunitas tak mau "adem ayem mati suri", hanya plank nama komunitas aja. Padahal di sisi lain, admin juga memiliki kesibukan tersendiri, seperti pekerjaan, keluarga dan lain-lain.
Di sinilah seninya. Seni atur waktu. Seni atur "repot" dan atur semuanya. Maka aku bilang, kesediaan memegang posisi admin adalah "kewibawaan" tersendiri. Mengingat tidak ada unsur paksaan di dalamnya. Sukarela.
"Kewibawaan", siap repot, siap korbankan banyak  waktu, siap sibuk, siap puyeng dan siap tekor (kalau dihitung materi). Hahaha
Oleh karenanya, yang bisa mengukur untuk bersedia menyanggupi menjadi admin komunitas adalah diri sendiri. Diri sendiri yang tahu kesibukan dan kemampuan diri. Bukan orang lain. Selebihnya adalah unsur  "kewibawaan" tadi.Â
Nah sepertinya itu faktor yang  bikin gak mudah untuk mencari kompasianer yang bersedia menjadi admin komunitas. Regenerasi admin  susah kulakukan di KPK. Sepertinya jadi follower lebih nikmat. Laa iyalah heheheeÂ
So, tips atau resep utamanya adalah, "Bawa happy saja". Bukankah memang tujuan awal berkomunitas untuk senang berjejaring, memperoleh banyak hal-hal baru dari teman yang beragam?
Kalau dipikir "pahit", ya pahit. Kalau dipikir "manis", yaa banyak manisnya. Itu aku loor.
Pahit direpotkan printilan kegiatan, seperti ngadepin keluhan-keluhan peserta kegiatan saat gak nyaman selama acara. Namanya acara tentu saja tak luput dari kekurangan.
Ada lagi peserta yang mundur dadakan, karena ada tawaran acara lain yang lebih "gurih". Cari pengganti susah, karena mepet waktu. Sakitnya tuh di sini.Â
Peserta yang gak ontime. Ditunggu, kasian  yang datang ontime, diprotes yang datang tepat waktu pulak. Pilihannya yaa tinggalin saja. Hahaha
Mengejar-ngejar tulisan peserta sebelum waktu tenggat. Jadi juri, dan kirim-kirim paket hadiah/ e-money (kalau ada lomba).
Keluhan dari yang gak lolos seleksi peserta kegiatan.
Bikun laporan ke admin Kompasiana fika kegiatan memerlukannya. Â Dan buanyak lagi. Seruuu yaa?Â
Iya seruuu bambaaaang! Â
Itulah sebabnya, "bawa happy saja!" Â Karena berkomunitas bukan segalanya dan bukan yang utama dalam kehidupan pribadi. Bikin kegatan berkomunitas sebagai selingan bermanfaat yang menyenangkan. Agree?
Oleh karenanya, aku angkat topi buat teman-teman kompasianer yang rela "berepot ria" Â di tengah-tengah kesibukan kehidupan pribadinya, rela menjadi admin komunitas Kompasiana tanpa pamrih. (Dikit pamrih)
Teman-teman yang mau berbagi (korbankan) waktu, ruang berharganya.  Yang meyakini bahwa berbagi;  gak akan bikin kondisi pribadi jadi susah.Â
Mereka yang mau berbagi waktu dan repot, dengan dasar kebanggaan, kesenangan, kebahagiaan dan entah apalagi, berada di dalam habitat keluarga besar Kompasiana. Masak suka menjadi bagian keluarga, gak mau repot-repot untuk kepentingan keluarganya? Paradoks bukan?Â
Sekali lagi, tanpa maksud menafikan peran kompasianer lain, aku angkat topi untuk semua admin komunitas di Kompasiana. Terutama yang aktif. Respect!
Harapan atau Impian? Â
Tanpa komunitas atau dengan bersama komunitas, pasti kita ingin menjadi pribadi yang lebih bermanfaat buat siapapun bukan?
Minimal sebagai kompasianer kita sudah bisa berbagi kabar melalui tulisan bermanfaat ke publik tentang tema yang ditulis.
Sisi lain, aku pikir, dengan komunitas kita lebih memiliki potensi untuk berbuat banyak hal bagi sekitar. Berdampak lebih banyak bagi publik.
Bukan lagi level kesenangan pribadi namun bisa menebarkan jangkauan kesenangan, kebermanfaatan bagi orang luar.
Bagaimana komunitas berguna dan bermanfaat untuk semua orang bukan hanya bagi anggota internal komunitas saja. Memaksimalkan potensi diri kita sebagai kompasianer di dalam komunitas untuk lebih berdaya guna. Semacam  naik level getu.
Contoh kecil, aku membayangkan KPK bisa berperan aktif secara riil, bersama anggotanya membantu pelaku UMKM khususnya kuliner melalui konten-konten yang dibikin. Lebih jauh lagi, bukan hanya melalui tulisan. Entah gimana bentuknya, lebih jauh bisa didiskusikan.
Aku pikir, itu sebagai bentuk kontribusi komunitas bagi publik, minimal publik yang terdekat dalam jangkauan. Lalu selanjutnya kita bisa....aaah.
Udah capek nulisnya. Jadi udahan dulu yes.
Jika sekiranya tulisan ini bisa memberi pemahaman berkomunitas, syukurlah. Jika tidak pun tak apa. Abaikan saja ya. Â Biar disapu waktu hehee
Mari berkomunitas dengan riang gembira.  Gak perlu tegang-tegang amat yang penting  bisa lebih bermanfaat. How? Â
Salam #TetepHepi.
@rachmatpy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H