Mohon tunggu...
Rachmat PY
Rachmat PY Mohon Tunggu... Penulis - Traveler l Madyanger l Fiksianer - #TravelerMadyanger

BEST IN FICTION 2014 Kompasiana Akun Lain: https://kompasiana.com/rahab [FIKSI] https://kompasiana.com/bozzmadyang [KULINER] -l Email: rpudiyanto2@gmail.com l IG @rachmatpy @rahabganendra

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Secangkir Kopi Racikan Marga Yoe, Produsen Kopi Tertua di Kota Bogor

25 Mei 2023   14:38 Diperbarui: 25 Juli 2023   18:16 996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kopi Bah Sipit Cap Kacamata. Dokpri

Di Kota Bogor ada keluarga pengusaha kopi yang bertahan memproduksi kopi bubuk tertua. Berdiri sudah 98 tahun. Dirintis sejak tahun 1925. Kedai kopi yang berdiri zaman kolonial Hindia Belanda.  

Ada dua orang sedang "ngopi" saat aku masuk ke dalam kedai kopi di kawasan Empang, Bogor. Aku lebih suka menyebut kedai, untuk tempat ngopi. Seperti lazimnya sering kudengar, dulu saat bermukim di Batam.

Kedainya gak seberapa besar, Ada tiga meja kecil berbentuk bundar dengan masing-masing dilengkapi sepasang kursi. Kursi dan meja kayu berwarna coklat gelap. Warna kayu.

 Teksturnya seperti kayu pilihan. Etalase kaca dan almari, bentuknya masih kuno. Lazim digunakan di toko-toko "jadul". Dulu kala. Mengingatkan almari di toko klontong ibuku, yang beroperasi rentang tahun 1980an.

"Teteh kopinya," kataku kepada dua wanita pramuniaga yang sedang bercakap-cakap.

" Sedang mati listrik. Konslet," jawabnya.

Itu artinya peralatan masak kopi elektrik gak bisa dipakai.

"Mau kopi tubruk aja? Kurebusin air," tawarnya.

Aku mengangguk. Aku duduk di salah satu kursi. Sambil menanti kopi, aku memperhatikan sekeliling. Ada mesin giling kopi dan alat memasaknya. Sementara harus "nganggur" karena sedang mati listrik.

Ada motor model gerobak yang dimodifikasi menjadi "motor kopi", alias motor untuk jualan kopi. Ini digunakan saat menjual kopi di pameran.

Kopi Bah Sipit Cap Kacamata. Dokpri
Kopi Bah Sipit Cap Kacamata. Dokpri

Ada etalase kaca, ditata sedemikian rupa. Salah satu  etalase, memuat kopi bubuk robusta dan arabica yang dikemas dengan ragam ukuran.  Ada yang berat 200 gram arabica, dan ada 250 gram robusta. Ada yang dikemas kertas dan plastik bermerek "Kopi Bubuk Cap Kacamata Bah Sipit".

Begitu pula di atas etalase ada "lodong" atau wadah berbahan gelas. Ada kemasan kecil. Ini kemasan sekali seduh. Harganya ekonomis. Ada yang Rp. 5000 dapet 4 buah, kopi bubuk tanpa gula. Dan Rp. 5000 dapet 3 buah untuk kopi plus gula.

Dengan ragam kemasan itu, sepertinya kedai kopi ini lebih menjangkau beragam kalangan lapisan ekonomi masyarakat.

Sementara di dinding terpasang beragam foto jadul. Warnanya lusuh dan kusam tanda itu foto sudah lama banget, Ya itu foto-foto jaman Hindia Belanda. Masa perjalanan panjang  kedai kopi ini.

Foto di dinding kedai Kopi Bah Sipit Cap Kacamata. Dokpri
Foto di dinding kedai Kopi Bah Sipit Cap Kacamata. Dokpri

Tonton video reelsku ini untuk melihat kedai Kopi Bah Sopit.

Emas Hitam, Kopi

Selama ini yang ku tahu, bagi sebagian orang kopi itu memiiki nilai tersendiri.  

Di luar negeri, kopi Indonesia bahkan dijuluki  sebagai "the black gold" atau 'emas hitam'.

Julukan yang tak berlebihan seiring dengan melimpahnya ragam kopi khas Indonesia. Kita akan dengan mudah menyebut daerah-daerah di nusantara yang beken karena kopinya. Ada kopi Gayo, Jawa, Toraja hingga Papua.

Begitu pentingnya kopi sebagai komoditas berharga, bahkan biji kopi sempat menjadi komoditas yang sangat mahal. Seperti yang tercatat dalam sejarah, pada 1889, emas hitam itu memicu pecahnya Perang Kopi di Toraja, Sulawesi.

Disebutkan bahwa Kerajaan Sindreng yang mayoritas bersuku Bugis menyerang ke Toraja yang bertujuan untuk  mengalihkan distribusi kopi Toraja yang dikendalikan pedagang Palopo ke pelabuhan Pare-Pare yang mereka kuasai.

Kopi Bah Sipit Cap Kacamata. Dokpri
Kopi Bah Sipit Cap Kacamata. Dokpri
Di Bogor atau orang Belanda menyebutnya Buitenzorg, perkembangan kopi dimulai tahun 1886. Pada masa Hindia Belanda itu, banyak menjamur para pengusaha kopi yang menjual kopi dari tingkat lokal hingga ekspor.

Salah satu penjual kopi eceran di Kota Bogor, yang bertahan hingga saat ini adalah Kopi Bubuk Cap Kacamata. Kopi yang dirintis oleh Yoe Hong Keng  atau yang dijuluki Bah Sipit oleh warga kampung Arab, Empang Bogor, tempat tinggalnya.

Beliau adalah seorang cina totok, kelahiran tahun 1902.

Produksi Kopi Bubuk Hampir Satu Abad

Yoe Hong Keng, adalah perintis usaha produksi kopi bubuk sejak tahun 1925 silam. Kalau dihitung hingga tahun ini, berarti sudah bertahan selama 98 tahun. Luar biasa bukan?

Produksi kopi dari biji kopi pilihan, robusta dan arabika.

Sejak wafatnya  Bah Sipit pada tahun  1985, usaha produksi kopi bubuk diteruskan keluarga peranakan itu yakni generasi ketiga marga Yoe.

"Ini kopinya..."

Aku tersentak, dan mengangguk. Secangkir kopi pesananku sudah jadi. Kopi tubruk robusta.

Ini kopi hasil produksi kelarga marga Yoe. Rasa nikmat pada kopi pekat hitam tanpa gula itu, membawa kembali lamunanku yang sempat terpotong.

Lamunan di masa silam tentang kopi racikan Bah Sipit di masa colonial.

Kopi-kopi bubk yang bertahan dan bisa dinikmati hingga kini. Dari lapisan masyarakat bawah hingga kalangan atas. Kopi yang berderet di etalase dengan ragam kemasan. Dan juga kemasan-kemasan kecil di "lodong".

Bahkan kertas-kertas pembungkus kopi bubuk itu tetap dipertahankan seperti masa dulu.  Kertas berwarana coklat khas pembungkus kopi-kopi bubuk yang dijual eceran.

Ada logo kacamata yang khas di pembungkus itu. Brand kopi Cap Kacamata yang resmi dipakai pada dekade tahun 1950. Logo itu konon dibuat oleh Muhammad bin Ahmad Balweel, seorang peranakan Arab yang tinggal di Empang.

*

Kedai Kopi Bah Sipit Cap Kacamata. Dokpri
Kedai Kopi Bah Sipit Cap Kacamata. Dokpri
Aku bangkit dari dudukku. Membayar dan pelan berjalan keluar.  Melewati ciantang atau pintu kayu berlipat pintu bercat biru. Pintu yang lazim dan khas digunakan dalam arsitektur toko-toko dan  warung di masa kolonial Hindia Belanda.

Secangkir kopi tubruk Bah Sipit, cukup membuatku lega. Merefresh otak di cuaca Bogor yang teduh, hari itu.

 Kopi Bah Sipit Cap Kacamata

Jl. Empang No.27, RT.01/RW.02, Empang, Kec. Bogor Sel., Kota Bogor, Jawa Barat   

@rachmatpy

Referensi:

BAH SIPIT Pengusaha Kopi Bubuk Tertua di Kota Bogor 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun