Aku salah satu anaknya yang suka mendengarkan cerita Ibu. Bahkan aku antusias mendengarkan dengan respon-respon pertanyaan.
Sambil nonton siaran televisi selepas Isya', aku rutin bercengkerama dengan ibu. Beralas kasus yang sengaja aku "seret" ke depan televisi, kami rebahan.
Aku nyaman mendengarkan. Cerita akan berakhir dengan sendirinya saat, Ibu ketiduran. Dan aku baru mengikutinya, tidur. Â Biasanya ibu tengah malam akan terbangun, lalu pindah ke kamarnya.
Jika sudah demikian, maka esok malamnya cerita akan berlanjut. Seperti taka da habisnya. Dan aku menikmatinya. Menikmati kebersamaan dengan Ibu. Sengaja aku manfaatkan waktu dengan Ibu lebih banyak. Mumpung di rumah.
Dan setelah tiba hari untuk kembali ke tanah perantauan, Jakarta, maka cerita akan terpenggal. Dan akan berlanjut di hari mendatang saat aku balek kampung.
Bisa jadi tahun berikutnya, atau mungkin bulan-bulan berikutnya.
Itu momen yang selalu kurindukan. Melebihi dari apapun yang ada di kampung halaman. Momen yang selalu bikin berat meninggalkan kampung halaman.
Saat momen mudik usai, semakin berat dengan kalimat Ibu saat melepas keberangkatanku .
"Pulangnya jangan lama-lama. Jangan setahun sekali," kata Ibu, perempuan  berumur kepala 7 itu.
Perempuan terhebat di mataku. Perempuan yang paling kusayangi jauh di kedalaman hatiku.
Perempuan yang akan selalu kurindukan cerita-cerita dan celotehan di kampung halaman.