Tujuan utamaku ketik momen mudik atau pulang ke kampung halaman itu hanya satu, ketemu Ibu dan bapakku.
Aku adalah orang yang beruntung, hingga detik ini, masih membersamai kedua orangtua. Bersyukur bahwasannya bapak dan ibu, masih dikaruniai kesehatan.
Oleh karenanya, momen mudik atau pulang kampung menjadi hal yang kuwajibkan. "Aku harus pulang!" Paling tidak saat momen lebaran Idul Fitri.
Tak ada alasan apapun yang bisa mencegahku untuk pulang kampung. Bahkan saat pandemi Covid melanda 3 tahun belakangan, aku mensiasatinya.
Aku tetap menyempatkan diri untuk pulang kampung meski jauh hari sebelum momen lebaran tiba.
Satu kalimat yang kuingat dan teriang selalu di benakku. Kalimat pesan dari ibu, 23 tahun yang lalu. Kali pertama aku berpamitan untuk merantau ke Jakarta.
"Dimanapun kamu pergi (merantau), tiap lebaran Idul Fitri kamu harus pulang," kata Ibu.
Itu seperti harga mati, dari Ibuku. Dan aku memegang janji itu. Paling tidak selama 23 tahun merantau, aku memenuhi janji pulang kampung setiap tahunnya. Kadang 1 kali, atau 2-3 kali. Dan aku senang bisa melakukannya.
Pesan Ibu itu sebuah kewajaran. Perasaan orangtua kepada anaknya. Aku yakin, demikian pula yang dilakukan oleh banyak Ibu di luar sana.
Apalagi aku adalah anak laki-laki satu-satunya dari 5 bersaudara.