"Tertawa bisa jadi obat terbaik. Tapi jika  tertawa tanpa alasan yang jelas, mungkin Loe butuh obat."
"Mau kemana Wak Haji," tanya Fikri.
"Ke masjid. Ikut?" jawab Wak Haji sambil membenahi sajadah di pundaknya.
"Boleh," Jawab Fikri.
Mereka pun berdua berjalan beriring. Menyusuro jalanan komplek menuju masjid dekat bundaran komplek perumahan.
Fikri adalah seorang mualaf. Dia masih muda dan belum menikah. Anaknya baik tapi agak tengil.
Wak Haji adalah sosok yang disegani di komplek perumahan mereka. Meski sudah berumur, Wak Haji sosok yang asyik diajak mengobrol. Itu sebabnya Fikri enjoy tiap bersama Wak Haji.
"Udah pulang kerja?" Wak Haji membuka pembicaraan.
"Udah resign Wak. Males."
"Gimana ceritanya, kerja kok males?"
"Ya getu Wak, teman kerja pada rese."
"Ooooo."
"Kata Wak, uang gak menjamin bahagia kan?" kata Fikri.
Wak Haji terdiam sesat.
" Emang uang gak menjamin Loe bahagia, tapi... "
"Tapi apa Wak?"
"Tapi kalau gak punya uang, gimana bayar cicilan rumahmu dan mencukupi kebutuhanmu?"
"Gampang Wak, Kata Wak Haji kan Tuhan yang atur rezeki kita."
"Hmmmm ya.. ya ya. Ikuti kata hati Loe. Tapi jangan lupa otak digunakan juga."
Wak Haji terkekeh.
"Wak mampir ke situ dulu ya. Aku mau beli sesuatu." Ajak Fikri sambil menunjuk minimarket.
Fikri bergegas berjalan ke minimarket diiringi Wak Haji. Fikri mendorong pintu masuk minimarket. Gak bisa.
"Pintunya ditarik, bukan didorong," kata Wak Haji.
Selesai Fikri berbelanja, mereka berdua keluar minimarket. Di luar ada seorang pengemis.
"Bersedekah itu ibadah. Dianjurkan apalagi di bulan Ramadan," kata Wak Haji.
"Uangku udah habis buat beli ini Wak."
"Reseki Tuhan yang atur. Pengemis itu ga diatur dapat rezeki dari loe," Wak Haji terkekeh.
"Sedekah bisa apa aja. Bukan hanya uang. Bisa tenaga atau doa. Banyak sedekah bisa menjadi amalan untuk terhindar dari masuk pintu neraka."
Fikri tercenung mendengar cnasehat yang terdengar seperi celotehan kakek-kakek di telinganya.
"Wak... pintu neraka didorong atau ditarik?" Fikri gentian terkekeh.
Wak Haji: ?><>:"?{}"?>>?
Akhirnya mereka sampai di masjid. Nampak beberpa anak mengisi waktu dengan "ngaji".
Sambil "ngabuburit" menunggu waktu berbuka puasa, Wak Haji dan Fikri  melanjutkan obrolan.
"Wak Haji,pusing neh bentar lagi lebaran," kata Fikri.
"Kok pusing? Bukannya senang."
"Senang gimana. Ditanya kapan nikah mulu."
"Makanya Kriii, tuh nikahin si Mawar. Dia kan sholehah, cantik."
"Mau Wak Haji. Tapi....Mawarnya yang gak mau."
"Ooo... teang aja, kalau jodoh juga gak akan kemana."
"Jodoh emang gak ke mana Wak... Â tapi saingan di mana-mana."
"Hehehee..."
"Kalau getu cari yang lain. Gak cantik juga gak apa-apa yang penting sholehah biar bahagia."
"Nikah ama yang cantik aja bukan jaminan bahagia, apalagi yang enggak."
"Hehehe."
 "Wak malah ngetawain."
"Ya... gimana Loe maunya diketawain. "
"Lebih baik diketawain karena belum menikah Wak... daripada gak bisa ketawa setelah nikah."
"Loe bisa aja. Ati-ati kalau ngomong Kriii.
"Abisnya Wak Haji.... Ngeledkin."
"Hehehe ya udah hidup udah susahh, Â banyak masalah. Terkadang hidup hanya perlu diketawain aja Kriii."
Fikri: ?>><<:"{}?++_{>
@rachmatpy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H