Pada saat menjalankan ibadah puasa, kondisi "menderita" dari rasa haus, lapar, menjaga perilaku, menahan nafsu, dan emosi itu merupakan sarana kultivasi. Mengasah hati kita untuk menjadi pribadi yang bertanggungjawab secara moral terhadap diri sendiri dan orang lain.
Secarik kertas kuterima dari Satpam komplek perumahanku di awal Ramadan ini, saat aku bertemu di depan gardu jaga.Â
"Pak ada surat dari lingkungan,"katanya.
Aku terima, membuka lalu membacanya. Oooh psurat pemberitahuan soal iuran untuk takjil bagi anak-anak pengajian bulan Ramadan di masjid komplek.
"Terima kasih,"Â kataku dan pamit berlalu.
Itu fragmen kecil di awal puasa ini. Aku memang jarang berada di rumah komplek ini. Jadi banyak info dari lingkungan Rukun Warga, sering melalui satpam komplek ini.
Mungkin terlihat sepele, kerelaan menyumbang takjil, namun bagiku ini sesuatu yang bermakna "dalam" mengingat kerelaan hati. Sifatnya sukarela, tidak mewajibkan. Ada pesan tersirat, bagaimana kita harus berempati saat hidup bersosial dengan tetangga dan lingkungan. Ini bukan  soal sepele, mengingat di lingkungan sosial saat ini, yang tak jarang individualistik.
Ramadan dan Kultivasi Diri
Alhamdulilah, 12 hari puasa sudah kita jalani di bulan baik, bulan suci Ramadan tahun ini. 12 hari pula, kita "belajar" menempa diri meningkatkan kualitas diri sebagai insan mahlukNya.
Secara pribadi, Ramadan memberi banyak makna tentang bagaimana kita sebaiknya menjalani kehidupan sehari-hari. Kedudukannya sebagai manusia, mahluk mulia.
Bagiku pribadi, makna secara hakiki, Ramadan adalah sebagai sarana  kultivasi secara spiritual. Makna dasarnya melatih diri.  Istilah kultivasi mungkin jarang kita temui dalam penggunaan kata sehari-hari.
Merujuk arti harfiah dari KBBI, kultivasi diartikan sebagai pengolahan lahan pertanian. Nah kalau kultivasi spiritual, aku maksudkan sebagai pengolahan lahan spiritual.
Kultivasi spiritual atau dalam pengertian umum adalah menempa diri secara jiwa dan raga. Aku memaknai seperti "laku" spiritual. Bermakna pensucian diri, dengan metode menjalankan puasa lahir dan batin di buan Ramadan.
Namanya juga "laku" jadi mensucikan diri jiwa dan raga, lahir batin untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi, lagi dan lagi. Suci seperti bayi. Seperti saat kita terlahir dengan membawa fitrah bersih suci.
Selama bulan Ramadan Khususnya, kita bisa melatih diri dengan puasa, menahan segala godaan duniawi, makan, minum, syahwat, emosi. Nantinya selepas bulan suci Ramadhan ini kita bisa menjadi  bersih dari dosa seperti bayi yang baru lahir.
 Kira-kira itu seh makna Ramadan bagiku terkait sebagai sarana kultivasi spiritual. Simple, tapi memang tak  mudah dijalani.
Puasa Ramadan, Mengasah Empati
Nah kaitan puasa sebagai sarana kultivasi spiritual ini, lebih spesifik bagiku adalah membentuk pribadi kita menjadi orang yang lebih bermanfaat bagi orang lain. Mengasah rasa empati, kepedulian yang tinggi terhadap orang lain.
Bukankah menurut sabda Rasulullah, "Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia" [HR. Ahmad]
Kita lihat kalau berpuasa secara umum  itu artinya menahan diri dari segala yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Lebih khusus,  puasa juga menahan diri untuk tidak melakukan maksiat.
Yang membatalkan puasa seperti makan dan minum, melatih diri kita untuk merasakan bagaimana rasa lapar dan haus yang dirasakan oleh orang-orang yang kekurangan materi.
Bagaimana merasakan menderitanya saat kebutuhan dasar kita, pangan tak terpenuhi. Dari rasa "menderita" ini kita diajarkan untuk berempati pada orang lain. Selanjutnya kita bisa belajar untuk  lebih ikhlas membantu orang lain.  Saling bantu dan bergotongroyong meringankan beban orang lain.
Contoh sederhana seperti menjalankan kewajiban menyisihkan prosentase penghasian kita untuk bersedekah. Jika sebelumnya kita merasa berat melakukannya, di bulan Ramadan, dengan melatih diri berpuasa, kita bisa melakukannya dengan lebih ringan.
Percaya atau tidak, kesadaran kita untuk bersedekah  kok tumbuh lebih kuat yaa saat Ramadan. Teman ngrasain juga gak?
Empati seperti ikhlas membantu orang lain itu adalah bentuk eksternal dari makna berpuasa. Secara internal atau ke dalam diri kita, puasa melatih kesadaran untuk mengelola batin lebih terkonstruktif.
Misalnya batalnya atau berkurangnya kadar puasa bukan dengan karena makan minum saja, tapi juga dari lepas kontrolnya segala ucapan kita. Ucapan adalah cermin dari suara hati. Ucapan baik tentu berdampak baik bagi diri dan orang lain. Begitu juga sebaliknya.
Nah dengan puasa bisa menjadi perisai diri, untuk lebih meningkatkan kemampuan kontrol diri terhadap ucapan dan perbuatan yang tidak baik.
Cuplikan hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah ini layak disimak. Â "Puasa itu perisai. Oleh karenanya, ketika salah seorang di antara kalian berpuasa, ia jangan berkata kotor, jangan berbuat fasik, dan jangan melakukan perilaku bodoh. Jika ada orang lain mengajaknya bertengkar atau mencacinya, maka katakan, saya sedang berpuasa".
Dari hadist itu, jelas bahwa berpuasa bukan semata-mata kegiatan tidak makan, tidak minum, Â dari fajar sampai fajar tenggelam saja.
Bagiku kesempurnaan puasa disamping  tergantung pada kemampuan pengendalian diri dari hal-hal lahir seperti makan minum, namun juga pengendalian diri dari sesuatu yang bersifat batin.
Kembali ke makna puasa  yang hakiki.  Secara internal, melatih diri secara lahir batin, spiritual untuk "lahir kembai' sebagai manusia yang suci. Arti  eksternalnya, bahwa kita bisa lebih terasah untuk ikhlas memiliki sifat empati pada orang lain.
Setuju?
Selamat berpuasa.
@rachmatpy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H