Â
Untuk menggenjot pertumbuhan investasi khususnya sektor pelabuhan di tanah air, ada dua entitas yang menentukan, yakni pemerintah dan swasta. Keduanya bagai dua sisi mata uang, yang saling melengkapi. Di satu sisi keduanya memiliki keterbatasan, di sisi lain saling memiliki kekuatan peran yang bisa saling menguatkan dan menguntungkan. Bersinergi adalah kunci.
PRESIDEN Republik Indonesia, Joko Widodo pernah "mengeluh" soal waktu tunggu (dwelling time) bongkar muat barang pelabuhan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Keluhan yang lebih berupa teguran, yang membuka mata terkait fenomena yang terjadi selama ini, menyangkut  soal kurangnya efektivitas fungsi pelabuhan yang ada serta perlunya kehadiran pembangunan pelabuhan.
Jelas ujung-ujungnya demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan lebih jauh ke depan lagi adalah mewujudkan misi agar Indonesia menjadi  poros maritim dunia.
Pelabuhan "NKRI" Simpul Konektivitas Â
Bagaimana tidak, peran pelabuhan salah satunya menjadi kunci penting dalam soal distribusi logistik di tanah air. Masalah geografis kepulauan nusantara berdampak sangat bergantung pada transportasi laut. Kelancaran distribusi, turut menentukan disparitas harga kebutuhan barang pokok hingga pelosok daerah di nusantara. Umum diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi harga barang adalah 2-3% biaya angkutan laut dan 6-15% biaya tunggu pelabuhan (dwelling time). Â
Jelas mendorong efektivitas pelabuhan sangat penting bagi Indonesia yang geografisnya berkedudukan sebagai negara kepulauan, dengan wilayah dominan dipisahkan oleh laut. Geografis kepulauan nusantara, membuat distribusi sangat bergantung pada transportasi laut. Rasional kalau program tol laut dicanangkan Presiden Jokowi, termasuk dengan menghadirkan sarana pendukung program tol laut, yakni pembangunan pelabuhan. Ya, Indonesia butuh pelabuhan besar. Â Â
Nyambung dengan hal itu, Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi pernah menyebutkan bahwa kehadiran pelabuhan haruslah menjadi pelabuhan penopang pelabuhan besar, seperti Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Tanjung Perak dan Pelabuhan Patimban. Tiga pelabuhan milik pemerintah itu menjadi visi dan misi "NKRI" guna  menjadikan pelabuhan sebagai simpul konektivitas  penghubung serta menjadi urat nadi guna mendorong pertumbuhan ekonomi nasional di seluruh pelosok indonesia.Â
Apa yang diungkapkan Presiden Jokowi dan Budi Karya sangat berdasar dan masuk akal, karena prinsip perdagangan berkembang yang terkait erat dengan perekonomian itu, seiring berkembangnya sektor pelabuhan. Faktanya 80% komoditas perdagangan dan pembangunan menggunakan moda transportasi laut.
Sementara itu ada hal yang memprihatinkan terkait rapor rasio perdagangan negara kita. Ternyata  biaya logistik Indonesia termasuk tinggi atau mahal yakni  sebesar 24% terhadap PDB (Product Domestic Bruto).Â
Fakta ini sulit dipungkiri apabila mengacu data dari "Riset Frost and Sulivan" yang dikutip Metro TV dalam tayangan The Nation. Data itu menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara maritim dengan rasio perdagangan yang rendah, bahkan di tingkat regional negara Asia Tenggara dan Asia umumnya. Kita tengok biaya logistik di negara tetangga. Di Vietnam biaya logistik sebesar 20%, Thailand 15%, Tiongkok 14% Malaysia 13%, India 13 %, Taiwan, 9%, Korea Selatan 9%, Singapura dan Jepang masing-masing hanya 8%.