Mohon tunggu...
Rachmat PY
Rachmat PY Mohon Tunggu... Penulis - Traveler l Madyanger l Fiksianer - #TravelerMadyanger

BEST IN FICTION 2014 Kompasiana Akun Lain: https://kompasiana.com/rahab [FIKSI] https://kompasiana.com/bozzmadyang [KULINER] -l Email: rpudiyanto2@gmail.com l IG @rachmatpy @rahabganendra

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Uptude Merengkuh Impian, Kuliner Tradisional Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri

7 Desember 2018   23:35 Diperbarui: 8 Desember 2018   08:40 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahan ikan Tude itulah yang kemudian dijadikan nama brand, menjadi Uptude. Mereka berdua meyakini brand itu sangat penting.

"Pengennya nanti orang kalau ingat makanan Manado, ingat Uptude," kata Riani, wanita jebolan Institut Teknologi Bandung itu.

Riani Perdanasari dan Putu Novi Santi duet yang merintis Uptude, kuliner tradisional Manado menjadi tuan rumah di negeri sendiri. (Foto Ganendra)
Riani Perdanasari dan Putu Novi Santi duet yang merintis Uptude, kuliner tradisional Manado menjadi tuan rumah di negeri sendiri. (Foto Ganendra)
Modal awal sekira Rp. 30 juta. Investasi itu kesedot di peralatan mesin, untuk mengolah dengan metode asap. Mesin didesain membakar dengan cepat dan efesien. Produksi digawangi tiga orang. Mereka memilih orang yang pintar masak, dan bisa melakukan  sesuai Standard Operating Procedure (SOP). Ini unik karena biasanya sekelas UMKM terkadang tergantung owner-nya, maunya gimana. Uptude beda, ada standarisasi.  

Oleh karena itulah manajemen modern diterapkan Riani. Gol-nya memberikan produk yang berkualitas. Ilmu dari pengalaman bekerja di perusahaan sebelumnya betul-betul digunakan sebaik-baiknya. Dibantu dengan partnernya, Putu.

Ikan Tude yang menjadi pilihan jenis Como yang tak banyak di pasaran. Ciri-cirinya mata "belo". Ukurannnya pun lebih besar dari yang biasa ditemui di warung-warung.

 "Sekilo isi 5 ekor. Sama supplier terkadang dicampur ukuran besar kecil, kita gak mau. Minta yang ukurannya harus sama, soalnya dijual per ekor. Sekarang agak lancar, tapi masih mau cari supplier lagi," jelas Riani.  

Perjuangan memakan waktu panjang, mulai mencari sumber bahan baku, racikan yang pas selera. Setelah racikan dirasa sesuai, mereka memutuskan tes pasar pada April 2017. Bolak-balik, cari input terkait rasa, serta standar pemilihan baku.

"Rasa harus sama, standar. Ikan juga harus standar, besarnya sama," katanya.    

Akhirnya pada Oktober 2017 tes berhasil. Rasa disukai.  Bulan berikutnya mereka memberanikan diri launching.

Belakangan "material" (Ikan Tude) begitu Putu menyebutnya, susah didapat. Jadi bingung jual apa. Harga "material" naik, selisih Rp 6000. Biasa beli Rp 32 ribu, menjadi Rp 38 ribu. Produk dijual Rp 32 000, karena high cost di proses pengolahan. 3 bulan jalan tersendat bahan baku. Di satu sisi mereka harus jualan.  Mereka pun mencari "material" alternatif lain.

Jawabannya? Ikan Cakalang. Mengapa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun